Uang Kunci Rezeki
Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA
PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin
Jadi orang kaya?, siapa yang nolak. Makan enak, tanpa perlu bersusah payah masak. Menghuni rumah megah bak istana tanpa perlu menanti bertahun-tahun. Mobil mewah berjejer di depan rumah. Tatap mata kagum senantiasa terasa sejuk di hati anda. Dan gadis-gadis cantik rupawan senantiasa mengimpikan kesempatan menjadi pendamping hidup anda.
Memang enak, rasanya hidup semacam ini. Saya rasa andapun senang bila mendapat kesempatan mewujudkannya. Bukankah demikian saudaraku?
TANPA Uang HIDUP TERASA GELAP
Impian indah di atas terwujud bila anda memiliki uang yang melimpah dan emas yang menumpuk bak gunung. Karena itu, walaupun anda tidak terlalu muluk-muluk dalam bermimpi, namun anda pasti menyadari bahwa uang adalah kunci terwujudnya berbagai hal di atas. Musuh menjadi sahabat, susah dengan cepat menjadi mudah dan muram sekejap menjadi riang. Semua itu berkat adanya fulus yang terbukti menjadikan segala urusan menjadi terasa mulus.
Wajar bila banyak orang di zaman sekarang berlari mengejar uang. Tidur karena uang, bangun karena fulus (uang) , berhubungan karena fulus dan bermusuhan pun karena fulus.
Fulus memang benar-benar telah menguasai kehidupan umat manusia. Sampai-sampai semua urusan dan kenikmatan terasa hambar tanpa ada fulus di tangan. Karena begitu besar pengaruh fulus pada kehidupan manusia sampai-sampai ada anggapan bahwa nikmat Allah hanya ada satu yaitu fulus (uang).
Anda tidak percaya? Coba anda ingat-ingat, berapa sering anda mengucapkan kata-kata : “Kalau aku punya rezeki maka saya akan berbuat demikian dan demikian?”. Dan sudah dapat ditebak, maksud anda dari “rezeki” adalah fulus. Bukankah demikian saudaraku?
Berbagai nikmat yang tak ternilai dengan apapun, kesehatan, anak keturunan, akal sehat dan lainnya bagi anda terasa hambar bila kantong sedang kempes. Saking hambarnya, sampai-sampai anda merasa sebagai manusia termiskin dan tersusah di dunia.
Anda lupa bila sejatinya di dunia ini terlalu banyak orang yang mendambakan untuk bisa seperti anda. Mereka merasa bahwa anda adalah manusia terbahagia di dunia ini. Karena itu untuk urusan nikmat senantiasa bandingkan diri anda dengan orang lain yang dibawah anda dan jangan sebaliknya. Dengan cara ini anda dapat menyadari betapa banyak nikmat Allah yang ada pada diri anda.
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” [Ibrahim : 34]
SENGSARA KARENA ULAH SENDIRI
Saudaraku tahukah anda bahwa pola pikir yang picik dan sudut pandang yang sempit tentang arti nikmat semacam ini adalah biang derita anda selama ini. Tidur tidak nyeyak, makan tidak enak, badan terasa sakit dan urusan seakan sempit. Padahal sejatinya semua derita itu tidak seharusnya menimpa kehidupan anda. Andai anda menyadari hakekat nikmat Allah. Semua ini terjadi karena anda merasa jauh dari nikmatnya.
Di saat anda dihadapkan pada hidangan nasi, tempe, sayuran dan segelas air putih, mungkin anda merasa bersedih. Anda menduga bahwa anda baru mendapat nikmat yang luas bila dapat menyantap hidangan berupa daging, dengan berbagai variasi cara memasaknya, dan dilengkapi dengan berbagai menu lainnya. Akibatnya anda tidak dapat merasakan betapa nikmatnya hidangan tempa dan sayuran tersebut.
Derita anda semakin terasa lengkap karena betapa banyak nikmat Allah yang anda anggap sebagai bencana, anda mengira bahwa diri anda layak untuk menerima rezeki lebih banyak dibanding yang anda terima saat ini.
Akibat dari pola pikir ini anda senantiasa hanyut oleh badai ambisi, dan menderita karena senantiasa berjuang untuk mewujudkan impian anda yang diluar kemampuan anda sendiri.
“Andai engkau telah memiliki dua lembah harta benda, niscaya anda berambisi untuk mendapatkan yang ketiga. Dan tidaklah ada yang mampu menghentikan ambisimu dari mengumpulkan harta kekayaan selain tanah (kematian). Dan Allah menerima taubat orang yang kembali kepada-Nya [Muttafaqun ‘alaih]
Ambisi mengeruk dunia ini menjadikan anda semakin sengsara dan hidup terasa gersang. Kebahagian yang dahulu anda juga tersimpan dibalik kekayaan semakin jauh dari genggaman anda.
“Barangsiapa yang urusan akhirat adalah pusat perhatiannya, Allah letakkan kekayaannya dalam hatinya, urusannya menjadi bersatu, dan rezeki dunia akan menjadi lapang. Sedangkan orang yang pusat perhatiannya adalah urusan dunia, Allah letakkan kemiskinannya ada di pelupuk matanya, urusannya tercerai berai dan rezkinya menjadi sempit” [HR Tirmidzy dan lainnya]
Anda lalai bahwa apapun yang Allah berikan kepada anda adalah yang terbaik bagi Anda.
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan rezeki-Nya sesuai dengan ukuran yang Ia kehendaki.. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”. [As-Syura : 27]
Pola pikir yang begitu picik dan hati yag begitu sempit, menjadi biang turunnya murka Allah dan teguran-Nya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". [Ibrahim : 7]
Cermatilah saudaraku ! Allah berjanji akan menambah dan melipatgandakan nikmat-Nya bila anda mengakui nikmat dan mensyukurinya. Namun sebaliknya, bila anda mengingkari nikmat Allah atau malah meremehkannya, Allah telah menyediakan untuk anda siksa yang pedih.
Camkanlah, sejatinya ancaman Allah pada ayat ini tidak dibatasi akan terjadi di dunia atau di akhirat. Ini pertanda bahwa kedua kemungkinan tersebut sama-sama dapat terjadi pada anda. Siksa Allah bisa saja menimpa anda di dunia dan juga bisa di akhirat. Di dunia, nikmat di cabut dan di ganti dengan derita, dan di akhirat tentu siksa neraka yang pedih telah menanti.
تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رضي وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ
“Semoga kesengsaraan senantiasa menimpa para pemuja dinar, dirham dan baju sutra (pemuja harta kekayaan, pen). Bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga). Dan bila ia tertusuk duri semoga tiada yang sudi membantunya mencabut duri itu darinya” [HR Bukhari]
JADILAH ORANG YANG PALING BAHAGIA
Saudaraku! Hidup bahagia di dunia dan kelak di akhirat masuk surga tentu cita-cita anda. Dan tentunya, setiap cita-cita agar dapat menjadi kenyataan membutuhkan kepada perjuangan. Dan ketahuilah bahwa ada tiga kunci utama bagi tercapainya kebahagian hidup di dunia.
Senantiasa berserah diri dan puas dengan segala pembagian Allah.
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sesungguhnya segala urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya” [HR Muslim]
Anda menyadari bahwa betapa banyak nikmat Allah yang anda terima.
“Barangsiapa yang di pagi hari merasa aman di kampung halamannya, sehat badannya, dan memiliki makanan yang mencukupinya pada hari itu, maka seakan-akan dunia dan seisinya telah menjadi miliknya” [HR At-Tirmidzy]
Harta kekayaan bukanlah tolok ukur kasih sayang Allah kepada anda.
Saudaraku! Janganlah anda salah persepsi tentang kehidupan dunia, sejatinya dunia berserta isinya tidaklah ada artinya di hadapan Allah. Karenanya, janganlah anda gadaikan kebahagian hidup anda di dunia dan akhirat dengan harta kekayaan dunia yang hina dina.
“Sejatinya Allah Azza wa Jalla telah membagi-bagikan akhlaq kalian sebagaimana Allah juga telah membagi-bagikan rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan harta benda kepada orang yang Ia cintai dan juga kepada orang yang Ia benci. Sedangkan Allah tidaklah melimpahkan iman kecuali kepada orang yang ia cintai. Karenanya bila Allah mencintai seseorang, pastilah Allah melimpahkan keimanan kepadanya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al Mufrad dan At-Thabrani]
Saudaraku! Dengan mengaplikasikan ketiga hal ini dalam hidup anda, dengan izin Allah, anda menjadi orang yang senantiasa berbahagia di dunia dan juga di akhirat.
PENUTUP
Semoga paparan singkat ini dapat membebaskan anda dari belenggu fulus yang pada zaman ini telah menindas kehidupan umat manusia. Dan dengan ketiganya anda dapat kembali ke dalam rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala, di dunia hingga di akhirat. Semoga paparan singkat ini bermanfaat bagi anda, dan dapat menjernihkan penilaian anda tentang harta dunia secara umum dan fulus secara khusus. Wallahu ‘alam bishshawab.
[Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim, Edisi 21 Volume 2/Oktober 2011. Alamat Redaksi Gang Timor Timur D-9 Jalan Kaliurang Km 6.5 Yogyakarta, Telp Kantor 0274 8378008, Redaksi 0815 0448 6585. Penerbit Yayasan Bina Pengusaha Muslim Jakarta]
Kitab Jual Beli (1)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Jual Beli
Al-buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’u, dan dijamak karena banyak macamnya.
Sedangkan bai’u yaitu memindahkan kepemilikan kepada orang lain dengan harga. Adapun syira adalah menerima bai’i tersebut. Dan setiap dari keduanya digunakan untuk menamai yang lainnya.
Pensyari’atan Jual Beli
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]
Juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [An-Nisaa': 29)]
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا.
“Al-Bayyi’an (penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” [1]
Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain (namun) terkadang orang tersebut tidak memberikan kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli terdapat wasilah (perantara) untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. [2]
Anjuran Bekerja
Dari Miqdam Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ q كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
“Tidaklah seseorang memakan makanan sedikit pun yang lebih baik dari memakan hasil kerjanya sendiri, karena sesungguhnya Nabiyullaah, Dawud Aliahissallam dahulu makan dari hasil kerjanya sendiri.” [3]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َلأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.
"Sungguh, seseorang di antara kalian mengumpulkan seikat kayu bakar yang ia panggul di atas punggungnya (untuk dijual) adalah lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, entah diberi atau ditolak.’” [4]
Kekayaan bagi Orang Yang Bertakwa
Dari Muadz bin ‘Abdillah bin Khubaib, dari ayahnya, dari pamannya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النَّعِيمِ.
"Tidak mengapa kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan kesehatan bagi orang yang bertakwa lebih baik dari pada kekayaan, dan jiwa yang baik termasuk nikmat.’” [5]
Anjuran Sederhana Dalam Mencari Penghidupan
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ.
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon, karena sesungguhnya suatu jiwa tidak akan mati sehingga dipenuhi rizkinya walaupun lambat datangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang
haram.” [6]
Anjuran Berbuat Jujur Dan Ancaman Berdusta
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan menjelaskan (keadaan dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya, (namun) apabila menutup-nutupinya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.” [7]
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ.
"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual kepada saudaranya barang dagangan yang terdapat aib padanya kecuali ia menjelaskannya” [8]
Anjuran Mempermudah Dan Murah Hati Dalam Jual Beli
Dari Jabir bin ‘Abdillah Rdhiyallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
“Semoga Allah merahmati seseorang yang murah hati apabila menjual, apabila membeli serta apabila menuntut” [9]
Keutamaan Memberi Tempo kepada Orang yang Kesulitan Membayar Hutang
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ: تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.
“Dahulu ada seorang pedagang yang sering memberi hutang kepada manusia, apabila ia melihat orang yang kesulitan membayar hutangnya (mu’-sir) maka ia berkata kepada para pembantunya, ‘Maafkanlah ia, semoga Allah memaafkan (kesalahan-kesalahan) kita.’ Maka, Allah pun memaafkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya.” [10]
Larangan Menipu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
مَرَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا، فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهِ فَإِذَا هُوَ مَغْشُوشٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seseorang yang menjual makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, ternyata ia menipu, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang yang menipu (berbuat curang) bukan dari golongan kami.’”[11]
Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rizki
Dari Shakhr al-Ghamidi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَللّهُمَّ بَارِكْ ِلأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا.
‘Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.’” [12]
Do’a Ketika Masuk Pasar
Dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, “Barangsiapa ketika masuk pasar membaca:
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
‘Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, Dia yang menghidupkan dan mematikan, Dia Mahahidup dan tidak mati, segala kebaikan berada dalam tangan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.’
Niscaya Allah akan menuliskan satu juta kebaikan baginya dan menghapus satu juta kesalahannya dan Dia akan membangun rumah untuknya di Surga.” [13]
Allah Telah Menghalalkan Jual Beli
Hukum asalnya adalah boleh menjual apa saja dan dengan cara bagaimanapun jual beli tersebut selama dilakukan dengan saling suka sama suka antara penjual dan pembeli selama tidak dilarang oleh syari’at.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Kitab Jual Beli (2)
Kamis, 3 Mei 2007 08:49:27 WIB
KITAB JUAL BELI
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Macam-Macam Jual Beli Yang Dilarang Syari’at
1. Bai’ul Gharar
Yaitu semua jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidak-jelasan) atau mengandung unsur mengadu peruntungan atau judi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar (menjual barang yang ada unsur penipuan)” [14]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (X/ 156), “Larangan bai’ul gharar merupakan asas yang besar dari asas-asas kitab jual beli, oleh karena itulah Imam Muslim mendahulukannya karena masuk di dalamnya masalah-masalah yang begitu banyak tidak terbatas, seperti bai’ul aabiq (menjual budak yang kabur dari tuannya), bai’ul ma’dum (menjual sesuatu yang tidak ada), bai’ul majhul (menjual sesuatu yang tidak jelas), menjual barang yang tidak bisa diberikan kepada pembeli, menjual sesuatu yang hak kepemilikan penjual tidak sempurna, menjual ikan dalam air yang banyak, menjual susu yang masih dalam kantungnya, menjual janin yang masih dalam perut induknya, menjual seonggok makanan tanpa takaran yang jelas, menjual sepotong pakaian dari kumpulan banyak pakaian (tanpa menentukannya), menjual seekor kambing dari kumpulan banyak kambing (tanpa menentukannya), dan yang sejenisnya, semua ini hukum menjualnya adalah bathil, karena ia termasuk gharar tanpa ada hajat.”
Beliau berkata, “Apabila ada hajat yang menyeru kepada dilakukannya gharar dan tidak mungkin berlindung darinya kecuali dengan masyaqqah (cara yang berat/sulit) dan bentuk ghararnya sepele, maka boleh menjualnya. Oleh karena itulah kaum muslimin (ulama) bersepakat akan bolehnya menjual jubah yang diisi dengan kapas walaupun tidak melihat waktu mengisinya dan kalau bahan pengisinya dijual secara terpisah maka tidak boleh.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa bai’ul mulamasah, bai’ul munabadzah, bai’ul hablil habalah, bai’ul hashaat, ‘asbul fahl dan macam-macam jual beli yang sejenisnya yang terdapat nash-nash khusus padanya, ini semua masuk dalam larangan bai’ul gharar, akan tetapi disebutkan secara tersendiri dan dilarang karena ia adalah jenis jual beli Jahiliyyah yang masyhur. Wallaahu a’lam.” (secara ringkas).
Bai’ul Mulamasah dan Munabadzah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
نُهِيَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ، أَمَّا الْمُلاَمَسَةُ، فَأَنْ يَلْمِسَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَوْبَ صَاحِبِهِ بِغَيْرِ تَأَمُّلٍ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَوْبَهُ إِلَى اْلآخَرِ وَلَمْ يَنْظُرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِلَى ثَوْبِ صَاحِبِهِ.
“Dua bentuk jual beli yang dilarang; mulamasah dan munabadzah. Adapun mulamasah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli menyentuh pakaian kawannya tanpa memperhatikan/memeriksa (ada cacat padanya atau tidak). Sedangkan munabadzah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli melempar pakaiannya kepada yang lainnya dan salah seorang dari keduanya tidak melihat kepada pakaian saudaranya” [15]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ وَعَنْ بَيْعَتَيْنِ، نَهَى عَنِ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ فِي الْبَيْعِ، وَالْمُلاَمَسَةُ لَمْسُ الرَّجُلِ ثَوْبَ اْلآخَرِ بِيَدِهِ بِاللَّيْلِ أَوْ بِالنَّهَارِ وَلاَ يُقَلِّبُهُ إِلاَّ بِذَلِكَ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ بِثَوْبِهِ وَيَنْبِذَ اْلآخَرُ ثَوْبَهُ وَيَكُونَ ذلِكَ بَيْعَهُمَا عَنْ غَيْرِ نَظَرٍ وَلاَ تَرَاضٍ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari dua bentuk jual beli dan dua macam pakaian, beliau melarang dari mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Dan mulamasah adalah seseorang menyentuh pakaian orang lain dengan tangannya di waktu malam atau siang dan ia tidak membolak-baliknya kecuali dengan menyentuhnya saja. Sedangkan munabadzah adalah seseorang melempar pakaiannya kepada orang lain, dan orang lain tersebut melempar pakaiannya kepadanya, dan dengan itulah cara jual beli mereka berdua tanpa melihat dan tanpa saling suka sama suka” [16]
Bai’ul Habalil Habalah
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الْجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ قَالَ وَحَبَلُ الْحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذلِكَ.
“Adalah ahlul Jahiliyyah saling menjual daging unta hingga habalul habalah. Dan habalul habalah adalah agar seekor unta beranak kemudian anaknya ini bunting, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal itu.” [17]
Bai’ul Hashaat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar.” [18]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahiih Muslim (X/156), “Adapun bai’ul hashaat, maka ada tiga penafsiran padanya:
Pertama: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dari pakaian-pakaian ini apa yang terkena kerikil yang aku lempar,” atau “Aku jual tanah ini kepadamu dari sini sampai sejauh kerikil yang aku lempar.”
Kedua: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dengan syarat kamu memiliki khiyar sampai aku melempar dengan kerikil ini.”
Ketiga: (Yaitu) keduanya (penjual dan pembeli) menjadikan jenis lemparan dengan kerikil itu sendiri sebagai jual beli, yaitu ia mengatakan, “Jika aku melempar pakaian ini dengan batu maka ia dibeli olehmu dengan harga sekian.” (Selesai).
‘Asbul Fahl [19]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl.” [20]
2. Bai’u Maa Laisa ‘Indahu (Jual Beli Barang Yang Tidak Ada Pada Penjualnya)
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seseorang meminta kepadaku untuk menjual, padahal aku tidak memiliki, apakah aku menjual kepadanya?’ Beliau menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.
"Jangan engkau jual suatu barang yang tidak engkau miliki.’” [21]
3. Jual Beli Suatu Barang yang Belum Diterima
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ.
“Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia menerimanya dahulu.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku menganggap segala sesuatu kedudukannya seperti makanan.” [22]
Dari Thawus, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ.
"‘Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.’”
Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau melihat mereka saling berjual beli dengan emas sedangkan makanannya tertahan (tertunda).”[23]
4. Melakukan Transaksi Jual Beli di atas Transaksi Jual Beli Saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ.
“Janganlah sebagian kalian melakukan transaksi jual beli di atas transaksi jual beli sebagian yang lain.” [24]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ.
“Janganlah seorang muslim menawar (barang) yang sedang ditawar oleh saudaranya.” [25]
5. Bai’ul ‘Inah
Yaitu menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tempo dan ia menyerahkannya kepada si pembeli, kemudian sebelum ia menerima pembayarannya ia membelinya kembali (dari si pembeli) dengan harga tunai yang lebih sedikit (lebih murah) dari harga tempo.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ.
“Apabila engkau berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian lebih senang memegang ekor-ekor sapi•, dan ridha dengan bercocok tanam, serta kalian meninggalkan kewajiban jihad, (niscaya) Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kalian kembali kepada agama kalian.” [26]
6. Jual Beli dengan Cara Tempo Dengan Menambah Harga (Jual Beli Kredit)
Dewasa ini telah tersebar jual beli dengan cara tempo dengan menambah harga yang lebih dikenal dengan nama bai’ut taqshiith (jaul beli kredit). Adapun bentuk jual beli ini -sebagaimana yang sudah maklum- adalah menjual barang dengan dikredit dengan tambahan harga sebagai balasan tempo waktu. Sebagai contoh suatu barang dengan cara tunai seharga seribu, lalu dijual dengan cara kredit seharga seribu dua ratus, jual beli seperti ini termasuk jual beli yang dilarang.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا.
“Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” [27]
Barang-Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan:
1. Khamr (Minuman Memabukkan)
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ahuma, ia berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ آيَاتُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ عَنْ آخِرِهَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ حُرِّمَتِ التِّجَارَةُ فِي الْخَمْرِ.
“Tatkala turun ayat-ayat surat Al-Baqarah…., Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Telah diharamkan perdagangan khamr.’” [28]
2. Bangkai, Babi Dan Patung
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika berada di Makkah pada ‘amul fath (tahun pembukaan kota Makkah):
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأَصْنَامِ، فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذلِكَ قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ.
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.” Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapatmu tentang (menjual) lemak bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk penerangan?” Beliau menjawab, “Tidak boleh, ia haram.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemak-lemak (hewan), mereka pun mencairkannya lalu menjualnya dan memakan uangnya.” [29]
3. Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari hasil penjualan anjing, mahrul baghyi (uang hasil berzina/melacur) dan hulwanul kaahin (upah praktek perdukunan).” [30]
4. Lukisan (Gambar-Gambar) Yang Memiliki Ruh
Dari Said bin Abul Hasan, ia berkata, “Aku sedang berada di tempat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya bertanya, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, aku adalah seseorang yang penghasilanku dari kerajinan tanganku, dan sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini.’ Maka Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Aku tidak akan menceritakan kepadamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku telah mendengar beliau bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فَإِنَّ اللهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا.
"Barangsiapa yang menggambar suatu gambar (bernyawa), maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya sehingga ia meniupkan ruh padanya (gambar-gambar tadi), dan ia tidak akan mampu untuk meniupkan ruh selamanya".
Maka orang tersebut pun mengalami sesak nafas yang hebat dan wajahnya memucat. (Ibnu ‘Abbas) berkata, ‘Celaka engkau, kalau engkau enggan kecuali harus membuatnya, maka gambarlah pohon ini, (gambarlah) segala sesuatu yang tidak memiliki ruh". [31]
5. Buah Sebelum Matang
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا وَعَنِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ، قِيلَ وَمَا يَزْهُو؟ قَالَ: يَحْمَارُّ أَوْ يَصْفَارُّ.
“Bahwa beliau melarang menjual buah sebelum matang, dan kurma sehingga ia berwarna.” Lalu ada yang bertanya, “Apa maksudnya berwarna?” Beliau menjawab, “(Hingga) memerah atau menguning.” [32]
Juga diriwayatkan darinya, “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah sehingga matang. Lalu ditanyakan kepada beliau, ‘Apa maksudnya matang?’ Beliau menjawab, ‘Hingga memerah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ.
"Apa pendapatmu apabila Allah menahan buah tersebut (tidak bisa dipanen), maka dengan cara apa salah seorang dari kamu mengambil harta saudaranya.’”[33]
6. Pertanian Sebelum Bijinya Mengeras (Tua)
Dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual kurma hingga ma-tang, dan (melarang menjual) biji-bijian hingga mengeras (matang) [34] , serta aman dari hama. Beliau melarang penjual dan pembelinya.” [35]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
R i b a
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Riba
Ar-Riba -isim maqshur- diambil dari kata rabaa - yarbuu, se-hingga ditulis dengan alif ar-ribaa ( اَلرِّبَا ).
Ar-riba asal maknanya adalah az-ziyadah (pertambahan) baik pada dzat sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“…Hiduplah bumi itu dan suburlah...” [Al-Hajj: 5]
Dan bisa juga (pertambahan itu) terjadi pada pertukaran seperti satu dirham dengan dua dirham.
Hukum Riba
Riba hukumnya haram menurut al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al-Baqarah: 278-279]
Allah berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [Al-Baqarah: 275]
Allah juga berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” [Al-Baqarah: 276] [1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِِ.
“Jauhilah oleh kalian tujuh (perkara) yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menu-duh wanita yang suci bersih lagi beriman (dengan perzinaan).” [2]
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ j آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, pencatatnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” [3]
Dan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a'nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ.
“Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah bagaikan seseorang yang menikahi ibunya.” [4]
Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً.
“Satu dirham (harta) riba yang dimakan seseorang yang ia mengetahui (bahwa itu riba) adalah lebih dahsyat daripada tiga puluh enam zina.” [5]
Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ.
“Tidaklah seseorang memperbanyak (memakan) riba kecuali akibat dari perbuatannya adalah (hartanya akan menjadi) sedikit.” [6]
Macam-Macam Riba
Riba ada dua macam: Riba nasi’ah dan Riba fadhl.
Adapun riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh si pemberi hutang (ad-da-in) dari si penghutang (al-madiin) sebagai imbalan atas tempo (yang diberikan).
Riba jenis ini haram dengan (dalil) al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.
Adapun riba fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada tambahannya.
Riba jenis ini haram dengan dalil as-Sunnah dan ijma’ karena ia merupakan wasilah kepada riba nasi’ah.
Jenis-Jenis Yang Diharamkan Riba Padanya
Riba tidak terjadi kecuali pada al-ashnafus sittah (enam jenis) yang disebutkan dalam hadits.
Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah dijual) dengan timbangan yang sama, persis dan langsung diserah terimakan (kontan). (Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asal ada serah terima.’” [7]
Apabila enam jenis ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan haram pula dilakukan dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran dan tidak perlu melihat kepada (kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima) di majelis tersebut.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوْا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.
“Janganlah engkau menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya dan janganlah engkau menjual barang yang ghaib (tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir (di majelis).” [8]
Dari ‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ.
“Emas dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba kecuali jika langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika langsung serah terima dan kurma dengan kurma riba kecuali jika langsung serah terima.” [9]
Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
لاَ صَاعَيْ تَمْرٍ بِصَاعٍ وَلاَ صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ وَلاَ دِرْهَمَ بِدِرْهَمَيْنِ.
“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [10]
Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis yang lain seperti emas (dijual) dengan perak atau gandum dengan sya’ir maka boleh tafadhul dengan syarat harus diserahterimakan di majelis karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang telah disebutkan: “(Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asalkan ada serah terima.”
Dan juga karena sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:
وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا, يَدًا بِيَدٍ, أَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ, وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ، وَالشَّعِيْرُ أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ، وَأَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ.
“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila) langsung serah terima adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [11]
Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis dan ‘illat (sebab) yang menyelisihinya, seperti emas dengan gandum dan perak dengan garam, maka boleh tafadhul dan juga nasi’ah.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [12]
Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/38), “Ketahuilah bahwa ulama telah sepakat atas bolehnya menjual barang riba dengan barang riba lain yang tidak sama jenisnya dengan cara ditangguhkan dan saling dilebihkan, seperti menjual emas dengan gandum, perak dengan sya’ir dan yang lainnya dari barang-barang yang ditakar.” (Selesai).
Juga tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering kecuali bagi ahlul ‘araya, mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki pohon kurma, maka mereka boleh membeli ruthab dari pemilik pohon kurma yang mereka makan dari pohonnya dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [13]
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا مِنْ التَّمْرِ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi pemilik ariyah (pemilik pohon kurma) untuk menjual kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).” [14]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melarang menjual ruthab dengan tamr lanaran ruthab apabila mengering akan berkurang takarannya, se-bagaimana disebutkan dari Sa’id bin Abi Waqqash.
Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ j سُئِلَ عَنْ بَيْعِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ فَقَالَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ فَنَهَى عَنْ ذلِكَ.
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau melarangnya.” [15]
.
Juga tidak boleh menjual barang ribawi dengan yang sejenisnya, sedangakan bersama keduanya atau bersama salah satunya jenis yang lain.
Dari Fadhalah bin ‘Ubaid Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Aku membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar, pada kalung tersebut ada emas dan mutiara. Lalu aku melepas mutiaranya. Tiba-tiba aku menemukan padanya lebih dari dua belas dinar. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ.
‘Jangan engkau jual sehingga engkau pisahkan (emas dengan mutiara).’” [16]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
sumber: http://almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment