EVENT TICKET

Friday, November 25, 2011

Fiqih Haji : Miqat Dan Jenis Manasik; Tata Cara Umrah

Fiqih Haji : Miqat Dan Jenis Manasik; Tata Cara Umrah


Definisi Haji : Secara Etimologi Kata Hajji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj. Secara terminologi Syariat : Haji menurut istilah syar'i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ada yang berkata: "Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan disini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh. Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma'. "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". "Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan".

Beberapa Kesalahan Saat Melaksanakan Ibadah Haji

Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah". Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.

Renungan Usai Menunaikan Haji

Haji mabrur dan haji yang diterima itu memiliki tanda-tanda. Hasan al-Basri rahimahullah pernah ditanya: "Apa yang dimaksud haji mabrur?" Beliau rahimahullah menjawab: "Engkau kembali (setelah berhaji) dalam keadaan zuhud dengan kehidupan dunia dan senang dengan kehidupan akhirat". Maka, hendaklah ibadah haji yang sudah Anda tunaikan menjadi penghalang Anda dari tempat-tempat yang membinasakan dan menggelincirkan. Hendaklah haji Anda menjadi motivator untuk menambah bekal kebaikan dan melakukan amal shalih. Ketahuilah, seorang mukmin itu tidak memiliki batas akhir melakukan amal shalih kecuali ajal datang menjemput. Alangkah indahnya, jika para jama'ah haji kembali ke tengah keluarga dan negara mereka dengan penampilan akhlak yang lebih bagus, pikiran yang lebih mantap, lebih berwibawa, dan berbagai perilaku yang mengundang ridha Allah Azza wa Jalla. Alangkah indahnya, jika para jama'ah haji setelah kembali memiliki perilaku yang baik dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sejawat, dalam pergaulan bersama anak-anaknya, berhati baik serta menempuh manhaj yang benar, adil. Yang tersimpan dalam hatinya lebih baik dari yang nampak

Ihram Dalam Haji Dan Umrah


Untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Sehingga dengan hikmah-Nya yang agung, Dia mengutus para rasul untuk membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah haji ke Baitullah, al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan menjadi salah satu sarana bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketakwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dengan kesempurnaan syari'atnya, Islam telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Salah satu bagian ibadah haji adalah ihram, yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebagai salah satu bagian tersebut, maka pelaksanaannya perlu dijelaskan, yakni menyangkut tata cara dan hukum seputar hal itu.

Sebelas Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulang Kali Saat Berada Di Mekkah


Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal, yaitu al hillu, Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala. Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa'i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh 'Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan.

Memilih Haji Sunnah Ataukah Sedekah Untuk Membiayai Para Pejuang


Orang yang telah melaksanakan haji wajib, maka yang utama adalah menginfakkan dana yang akan digunakan haji yang kedua kepada orang-orang yang berjuang di jalan Allah seperti kaum mujahidin di Afghanistan dan orang-orang yang dalam pengungsian di Pakistan. Sebab ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : “Amal apa yang utama?”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Penanya berkata : “Kemudian apa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Jihad di jalan Allah”. Beliau ditanya lagi : “Kemudian apa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Haji mabrur”. Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan haji setelah jihad. Dan yang dimaksudkan adalah haji sunnah. Sebab haji wajib merupakan salah satu rukun dalam Islam jika telah mampu melaksanakannya.

Hikmah Ibadah Haji


Dan diantara manfaat haji yang besar adalah bahwa mereka bisa mempelajari agama Allah dilingkungan rumah Allah yang tua, dan di lingkungann masjid Nabawi dari para ulama dan pembimbing serta memberi peringatan tentang apa yang mereka tidak ketahui mengenai hukum-hukum agama, haji, umrah dan lainnya. Sehingga mereka bisa menunaikan kewajiban mereka dengan ilmu. Dari Makkah inilah tertib ilmu itu, yaitu ilmu tauhid dan agama. Kemudian (berkembang) dari Madinah, dari seluruh jazirah ini dan dari seluruh negeri-negeri Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada ilmu dan ahli ilmu. Namun semua asalnya adalah dari sini, dari lingkungan rumah Allah yang tua. Maka wajib bagi para ulama dan da’i, dimana saja mereka berada, terlebih lagi di lingkungan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, untuk mengajari manusia, orang-orang yang menunaikan haji dan umrah, orang-orang asli dan pendatang serta para penziarah, tentang agama dan manasik haji mereka.

Haji Mabrur, Haji Akbar, Ganti Nama Usai Haji, Asal Hajar Aswad, Titip Salam Untuk Nabi
Jumat, 30 Nopember 2007 01:23:35 WIB

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” . Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria. Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat. “ Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” . Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik”


Burung Merpati Di Tanah Suci Tidak Mempunyai Kelebihan, Barang Temuan Di Mekkah Tidak Boleh Dimiliki

Burung merpati Madinah, bahkan burung merpati Mekkah, tidak mempunyai keistimewaan khusus atas burung merpati lainnya. Hanya saja dilarang menjadikan burung merpati di tanah suci sebagai buruan atau mengusirnya bagi orang yang sedang ihram haji atau umrah, bahkan bagi orang yang tidak sedang ihram, jika burung merpati berada di Mekkah atau di Madinah. Tapi jika keluar dari kedua tanah suci, maka boleh menangkapnya dan menyembelihnya bagi orang yang tidak ihram haji atau umrah berdasarkan firman Allah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram” . Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya Allah memuliakan kota Mekkah, maka tidak halal bagi seseorang sebelumku dan juga setelahku. Sesungguhnya dia halal bagiku sesaat dari waktu siang. Tidak boleh dicabut tanamannya, tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diusir binatang buruannya”

Hukum Umrah Berulang-Ulang Ketika Berada Di Mekkah

Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah selama sembilan belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal demikian itu mudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari Mekkah ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ziarah Ke Masjid Nabawi Tidak Wajib Dan Tidak Ada Hubungannya Sama Sekali Dengan Haji

Ziarah ke Masjid Nabawi adalah sunnah, tidak wajib dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan haji. Bahkan disunnahkan ziarah ke Masjid Nabawi dalam sepanjang tahun dan tidak khusus pada waktu haji. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Tidak boleh melakukan rihlah (perjalanan) kecuali kepada tiga masjid : Masjidilharam, Masjidku dan Masjidilaqsha” . Dan jika seseorang ziarah ke Masjid Nabawi, maka disyari’atkan baginya untuk shalat dua raka’at di Raudhah kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua shahabatnya, Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya. Sebagaimana juga disyariatkan ziarah ke Baqi’ dan orang-orang yang mati syahid seraya mengucapkan salam dan mendo’akan kepada orang-orang yang diziarahi, baik para shahabat maupun yang lainnya.

Ibadah Haji Dengan Passport Palsu, Bolehkah Perempuan Dalam Masa Iddah Melakukan Ibadah Haji

Ibadah hajinya sah, sebab pemalsuan passport itu sama sekali tidak mempengaruhi ke-sah-an ibadah haji, namun ia berdosa, wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengganti nama palsunya (di passport) dengan nama aslinya agar tidak terjadi pengelabuan terhadap para petugas dan supaya kewajiban-kewajibannya yang harus ia tunaikan dengan nama aslinya tidak terabaikan lantaran nama kedua berbeda dengan nama pertamanya. Dengan cara seperti itu berarti ia telah memakan harta secara tidak benar (batil) yang dibarengi dengan kedustaan di dalam pemalsuan nama. Pada kesempatan yang baik ini, saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku, bahwa masalah ini bukan masalah yang sederhana bagi mereka yang melakukan pemalsuan nama (pada passport) dan menggunakan nama lain demi mendapatkan kemudahan dari negara atau kemudahan lainnya.

Tata Cara Haji : Hari Tarwiyah

Jika matahari terbit pada hari Arafah (hari kesembilan dari bulan Dzul Hijjah), maka setiap Haji berangkat dari Mina ke Arafah, seraya mengumandang-kan talbiyah atau takbir. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh para sahabat , sedang mereka bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ; ada yang mengumandangkan talbiyah dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, ada yang bertakbir dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak mengingkarinya. Jika matahari telah tergelincir, maka ia shalat Zhuhur dan Ashar secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat. Sebelum shalat, imam menyam-paikan khutbah yang materinya sesuai dengan keadaan (ibadah haji, pen.). Setelah shalat, setiap Haji menyibukkan diri dengan dzikir, do'a dan merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Sebaiknya berdo'a dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat hingga terbenamnya matahari. Demikian seperti yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena itu, setiap Haji hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang agung ini. Hendaknya ia mengulang-ulang serta memperbanyak do'a, juga hendaknya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sejujur-jujurnya.

Tata Cara Umrah


Sebagian orang mempercayai bahwa pakaian yang dikenakan wanita haruslah berwarna tertentu, misalnya hijau, hitam atau putih. Ini adalah tidak benar! Sungguh tidak ada ketentuan sedikit pun tentang warna pakaian yang harus dikenakan. Talbiyah yang dilakukan secara bersama-sama dengan satu suara -di mana hal ini dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah bid'ah. Perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak dari salah seorang sahabatnya. Yang benar adalah hendaknya setiap Haji mengucapkan talbiyah sendiri-sendiri. Tidak diharuskan seorang yang sedang ihram, baik laki-laki maupun wanita mengenakan terus pakaian yang ia kenakan ketika ihram sepanjang ibadahnya, tetapi dibolehkan ia menggantinya kapan dia suka. Hendaknya setiap Haji benar-benar memperhatikan masalah menutup aurat, sebab sebagian laki-laki terkadang auratnya terbuka di depan orang lain, misalnya ketika duduk atau tidur, sedang dia tidak merasa. Sebagian wanita mempercayai dibolehkannya membuka wajah di depan laki-laki selama masih dalam keadaan ihram. Ini adalah keliru! Ia wajib menutupi wajahnya.

Mengganti Hewan Hadyu Dalam Haji Dengan Nilai Uang Dan Disedekahkan Di Negara Asal Orang Yang Haji


Sesunguhnya Allah telah mensyariatkan kepada kita, bahwa orang yang haji tamattu atau haji qiran wajib menyembelih kurban. Tapi jika tidak mampu, maka berpuasa sepuluh hari, tiga hari ketika dalam haji dan tujuh hari ketika kembali kepada keluarganya. Sedangkan kita tidak mempunyai hak sedikitpun untuk menentukan syari’at. Bahkan yang wajib atas kita adalah membenahi kesalahan atau kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan kurban. Yaitu dengan mengingatkan kepada para penguasa untuk menangani dan membagikan daging-daging kurban kepada orang-orang fakir dan miskin, serta peduli tentang tempat-tempat penyembelihan dengan memperluas dan memperbanyaknya di tanah suci sehingga memungkinkan bagi jama’ah haji menyembelih kurban dalam waktu luas lalu dibagikan kepada orang-orang miskin di Makkah dan di tempat lain.

Kurban Untuk Haji, Menyembelih Sebelum Iedul Adha, Menggantinya Dengan Menyedekahkan Nilai Uang


Tidak boleh mengganti hewan kurban untuk haji tamattu' dan haji qiran dengan sedekah dengan uang yang senilainya, berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma yang melarang hal tersebut. Sebab yang dimaksudkan kurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban seperti disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya". Dan karena salah satu dari beberapa kaidah syari'ah adalah menutup berbagai (Sadduz Dzarai). Sedangkan mengganti dengan nilai (uang) akan mengarah kepada mempermainkan hukum Islam. Seperti seseorang akan mengeluarkan ongkos haji untuk digantikan orang lain karena sulitnya melaksanakan haji pada saat ini.

Makna Fidyah Karena Melakukan Larangan Dalam Haji, Macam-Macam Dalam Haji

Fidyah adalah sesuatu yang harus dilakukan karena melanggar ketentuan dalam haji atau umrah. Adapun bentuk fidyah ada bermacam-macam. Pertama, karena mencukur rambut (meskipun hanya tiga helai), memotong kuku, memakai pakaian berjahit, menggunakan parfum dan menutup kepala, yaitu memilih antara menyembelih kambing, memberi makan enam orang miskin, atau puasa tiga hari. Siapa yang melaksanakan salah satu dari tiga bentuk fidyah tersebut, maka sudah cukup baginya. Kedua, fidyah karena berburu, yaitu memilih antara menyembelih binatang yang sama atau ditentukan nilainya jika ada dan disedekahkan kepada orang-orang miskin, atau berpuasa beberapa hari dengan bersedekah untuk setiap hari satu mud.

Menggabungkan Kewajiban Melontar Hari-Hari Tasyriq Dalam Satu Hari, Melontar Dengan Satu Lemparan

Melontar jumrah adalah satu kewajiban dalam haji yang harus dilakukan pada hari Id dan tiga hari tasyriq bagi orang-orang yang tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau dalam hari Id dan dua hari tasyriq bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Adapun waktu melontar adalah setelah matahari condong ke barat seperti dilakukan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan dikuatkan dengan sabdanya : "Ambillah manasikmu dariku". Karena itu tidak boleh mendahulukan melontar sebelum waktunya. Adapun mengakhirkannya karena kondisi terpaksa seperti berdesak-desakan, maka mayoritas ulama memperbolehkan karena mengqiyaskan dengan keadaan para penggembala. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka.

Waktu Melontar Jumrah Aqabah Secara Umum, Jika Batu Yang Dilontar Tidak Jatuh Pada Tempat Melontar

Terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya pada hari Idul Adha dan bukan hari tasyriq. Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa seorang sahabat berkata : "Saya melontar setelah sore ?" Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tidak mengapa". Maksudnya, apabila penanya melontar pada akhir siang. Dan semua ulama menyatakan sah melontar pada akhir siang hari Idul Adha yaitu setelah dzuhur atau setelah ashar. Dan tidak berarti bahwa penanya tersebut melontar pada malam hari. Sebab dia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum datangnya malam. Adapun tentang melontar setelah terbenamnya matahari, maka terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh. Demikian ini adalah pendapat yang kuat. Dan sebagian yang lain mengatakan tidak sah melontar setelah terbenam matahari.

Melontar Jumrah Pada Hari Tasyriq Sebelum Matahari Condong Ke Barat (Sebelum Dzhuhur)


Ia tidak boleh melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi melontar gugur darinya karena keadaan darurat seperti itu. Namun dia wajib menyembelih kurban di Mina atau di Mekkah atau diwakilkan kepada orang yang akan menyembelihnya, dan dibagikan kepada orang-orang miskin, kemudian dia thawaf wada' dan pulang ke negaranya. Adapun pendapat yang mengatakan boleh melontar sebelum matahari condong ke barat, maka pendapat yang demikian itu tidak benar. Tapi yang benar, bahwa melontar setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Ambillah manasikmu dariku". Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melontar melainkan setelah matahari condong ke barat adalah hanya pebuatan, sedangkan perbuatan tidak menunjukkan wajib, maka pernyataan itu benar

No comments:

Post a Comment