REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Imam Ahmad bin Hanbal
Ia adalah seorang ulama dan intelektual Muslim terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Umat Islam di Indonesia biasa menyebutnya Imam Hambali. Sosok ahli fikih pendiri Mazhab Hambali itu begitu populer dan legendaris. Namun, ulama yang hafal satu juta hadis dan selalu tampil bersahaja itu tak pernah ingin apalagi merasa dirinya terkenal.
Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai ulama yang berotak brilian. Kecerdasannya diakui para ulama besar di zamannya. Penulis sederet kitab penting bagi umat Islam itu juga dikenal sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, saleh, dan berakhlak mulia. Kemuliaan yang ada dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal telah membuat guru-gurunya kagum dan bangga.
Imam Syafi'i menjuluki muridnya itu sebagai imam dalam delapan bidang. Imam dalam hadis, Imam dalam fikih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam kefakiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara', dan Imam dalam sunah. Ia terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ia tutup usia di baghdad pada 12 Rabi'ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77.
Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah adalah ulama dan pemikir Islam yang disegani karena ketokohan dan keluasan ilmunya. Ia telah menulis ribuan buku. Ia dijuluki beragam gelar, seperti Syaikhul Islam, Imam, Qudwah, 'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya.
Ia bernama lengkap Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Terlahir di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263 M).
Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para ulama-ulama terkenal di zamannya. Dia kemudian menjadi Bapak Pembaharuan Islam lewat gerakan Salafiyah yang dikembangkannya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa'ad Zur'i ad-Damsyiq. Ulama besar ini lebih dikenal dengan sebutan Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Ia adalah seorang ulama, ahli tafsir, penghafal Alquran, ahli nahwu, usul fikih, ilmu kalam, dan juga seorang mujtahid (ahli fikih) kenamaan.
Tak cuma itu, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dikenal pula sebagai seorang cendekiawan Muslim dan ahli fikih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 Masehi. Ulama yang bergelar Abu Abdullah Syamsuddin ini dilahirkan di Damaskus, Suriah pada 691 H/1292 M, dan wafat pada 751 H/1352 M. Ia merupakan murid Ibnu Taimiyah yang sangat fanatik.
Jamaluddin Al-Afgani
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. ia lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Dunia Islam mengenalnya sebagai seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya.
Di tengah kemunduran kaum Muslimin, al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20. Ia dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pada tahun 1879, al-Afgani membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Watani (Partai Kebangsaan).
Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849 M dan wafat pada 1905 M. Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Alquran. Pada usia 12 tahun, ia telah hafal kitab suci Alquran.
Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Jamaluddin Al Afghani, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan banyak belajar darinya. Al-Afghani banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh.
Rasyid Ridha
Ia bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.
Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).
Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Sir Sayid Ahmad Khan
Sir Sayid Ahmad Khan dikenal sebagai seorang tokoh pembaru di kalangan umat Islam India pada abad ke-19. Dia dilahirkan di India pada 1817. Nenek moyangnya berasal dari Semenanjung Arab yang kemudian hijrah ke Herat, Persia (Iran), karena tekanan politik pada zaman dinasti Bani Umayyah.
Kiprah Salafiyah di Era Modern
Salafiyah modern merupakan gerakan reformasi berdimensi agama, budaya, sosial, dan politik yang didirikan Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 M
Memasuki abad ke-19 M, dunia Islam benar-benar terpuruk. Hampir seluruh dunia Muslim berada dalam cengkraman penjajahan. Umat Islam benar-benar terjebak pada taklid buta dan mengalami kejumudan dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, politik, dan budaya.
Di tengah kondisi dunia Islam yang benar-benar terbelakang itu, Jamaludin Al-Aghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) menghidupkan dan mendirikan Salafiyah modern. Menurut John L Esposito, Salafiyah modern berbeda dengan di era klasik.
‘’Salafiyah modern intinya bersifat intelektual dan modernis serta tujuannya lebih beragam,’’ papar Esposito. Yang jelas, Jamaludin Al-Afghani lewat gerakan Salafiyah yang didirikannya mencoba untuk mengembalikan Islam pada bentuk murninya, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam.
Esposito mendefiniskan Salafiyah sebagai gerakan reformasi berdimensi agama, budaya, sosial, dan politik yang didirikan Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 M. ‘’Gerakan ini bertujuan memperbarui kehidupan Muslim dan berdampak formatif pada banyak pemikir dan gerakan Muslim di seluruh Dunia Muslim,’’ ujar guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.
Kedua tokoh gerakan salafiyah itu mencoba untuk menjembatani jurang antara Islam historis dan modernitas. Lewat cara itulah, Al-Afghani dan Abduh melawan stagnasi, kehancuran moral, depotisme politik, dan dominasi asing. Pada masa itu, supremasi Barat yang sangat besar, sehingga dunia Islam cenderung termarjinalkan.
Lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di jurnal al-Urwah Al-Wustha, yang diterbitkan Afghani pada dan Abduh pada 1884, kedua tokoh reformis Islam itu berupaya menyadarkan umat Islam yang sedang terpuruk. Menurut mereka, keterpurukan peradaban Islam tak terletak pada ajarannya.
Peradaban Islam justru terpuruk lantaran inflistasi konsep dan praktik asing, disitegrasi umat Islam, dan praktik despotisme politik (pemerintahan dengan kekuasaan politik absolut). Dalam pandangan mereka, distrorsi keyakinan Islam yang paling dasar telah membuat umat Islam bersikap pasrah, pasif, dan tunduk pada kekuatan Barat.
Akibatnya, umat Islam mengalami stagnasi dan dilanda peniruan buta olah para ulama tradisionalis. Masalah yang akut itu, dipandang Afghani dan Abduh, sebagai penghambat kemajuan Islam. Tak hanya itu. Penyakit sosial dan moral itu juga menjadi penjegal bagi dunia Islam untuk mengejar dan meraih kemerdekaan.
Agar dunia Islam tak tunduk kepada Barat, Afghani mencoba menegaskan validitas Islam pada masa modern dan membuktikan kesesuaiannya dengan akal dan ilmu pengetahuan. ‘’Bagi Afghani dan Abduh, Islam memberi fondasi kemajuan kepada kaum Muslim,’’ tutur Esposito.
Keduanya membuka mata umat Islam bahwa Islam memuliakan dan menegaskan kedaulatan manusia di bumi. Islam juga memberati kaum Muslim dengan tauhid, dan juga mendukung pencarian pengetahun dan kemajuan. Langkah yang dilakukan tokoh-tokoh pengusung gerakan Salafiyah modern adalah mengembalikan kebanggaan Muslim akan agama mereka.
Selain itu, memuluskan jalan untuk reinterpretasi islam sesuai dengan modernitas dan melegitimasi pengambilan sebagai prestasi ilmiah dan tekonologi Barat. Menurut Esposito, reinterpretasi Islam yang digulirkan Afghani dan Abduh itu telah membentuk prinsip besar kedua dari Salafiyah modern.
Seperti para pemikir Salafiyah klasik, pendukung Salafiyah modern juga tetap menekankan arti penting tauhid, pemurnian keyaknian dan praktik Muslim dari penambahan, serta pemulihan bentuk Islam yang murni.
Abduh merangkum tujuan Salafiyah sebagai berikut: ‘’Membebaskan pemikiran dari belenggu taklid, dan memahami agama sebagaimana dipahami para leluhur sebelum munculnya perpecahan; berpaling kembali, dalam memperoleh pengetahuan agama ke sumber pertamanya, dan menimbangnya dalam neraca akal manusia.
Para reformator modern, kata Esposito, juga meyakini bahwa Alquran adalah firman Allah yang tidak tercipta, dan menolak penafsiran esoterik dari ayat-ayatnya. Meski berusaha kembali kepada Alquran, sunah dan hadis sahih, Salafiyah modern berupaya membuat sintesis antara teks dengan akal.
‘’Mereka menganggap wahyu dan akal sepenuhnya harmonis,’’ ujar Esposito. Jika tampak ada kontradiksi, mereka menggunakan akal untuk menafsir ulang teksnya. Dalam menafsirkan Alquran, Salafiyah modern mencoba mengaitkannya dengan kondisi masa kini.
Pendekatan itu dipandang turut membangkitkan pesan Alquran, memulihkan relevansinya, dan membuatnya menjadi lebih mudah dipahami masyarakat Muslim awam. Dengan menekankan kembali kepada sumber fundamental islam, para pemikir salafiyah mencoba untuk membuka kembali potensi ijtihad.
Fondasi ketiga Salafiyah modern adalah reformasi yang bersifat komprehensif dan berangsur-angsur. Pendidikan menjadi batu tolak bagi rencana reformasi yang digulirkan pengusung Salafiyah modern. Caranya, dengan memadukan pendidikan Islam dan modern. Dengan cara itulah diharapkan umat Islam bisa bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari dunia Barat
Jejak Penyebaran Salafiyah
Sebagai sebuah ajaran dan sekaligus gerakan, Salafiyah menyebar ke berbagai negara di dunia Muslim. Di setiap wilayah, gerakan Salafiyah yang diusung para ulama dan intelektual memiliki fokus perjuangan yang berbeda-beda.
Di Aljazair, Ibnu Badis fokus pada reformasi di bidang pendidikan. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk melawan kebijakan penjajah Prancis yang cenderung merugikan umat Islam di wilayah itu. Ibnu Badis juga menggunakan Salafiyah sebagai sarana untuk menyelamatkan identitas nasional, serta memerangi tarekat sufi.
‘’Bersama ulama reformis lainnya, Ibnu Badis mendirikan Perhimpunan Ulama Aljazair,’’ tutur John L Esposito. Peran gerakan Salafiyah di negara itu sangat menonjol dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Gerakan neo-Salafiyah juga muncul di Maroko pada abad ke-19. Adalah Abu Syu’aib Al-Dukkali dan Muhammad Ibnu Al-Arabi Al-Alawi yang memimpin gerakan reformasi itu. Gerakan itu juga banyak berjasa dalam perjuangan meraih kemerdekaan Maroko lewat partai politik yang didirikan para pemimpin Salafiyah.
Di Tunisia, pada awal abad ke-19 M, gerakan Salafiyah juga berkembang di bawah beberapa ulama , seperti Basyir Shafar, Muhmamad Al-Tahir ibn Asyur, Muhammad Fadhil Ibnu Asyur, serta Abdul Aziz Al-Tsa’alibi. Di negara itu, Partai Destour adalah penganjur Salafiyah dan reformasi Islam.
Di India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) juga menggelorakan gerakan modernisme Islam. Gerakan itu berdampak besar bagi reformasi di kalangan Muslim India. Di negeri Hindustan juga muncul intelektual yang mendukung gerakan Salafiyah lainnya bernama Muhammad Iqbal (1875-1938. Ia berupaya memadukan pendidikan Islam dan Barat untuk mengatasi keterpurukan yang dihadapi umat Islam.
Gerakan Salafiyah di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan Muhammad ibnu ‘Abd al-Wahhab di Jazirah Arab. Menurut Ensiklopedi Islam, ide-ide Salafiyah pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19 M, yang kemudian melahirkan gerakan kaum Padri yang berlangsung dari 1803 hingga 1832. Salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol.
Ide dan gagasan Salafiyah juga turut mempengaruhi lahirnya sejumlah organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Persis, serta Al-Irsyad. Ormas Islam itu terbilang konsen menyuarakan pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunah. Memberantasan takhayul, bidah dan khurafat merupakan isu utama yang juga diusung ormas tersebut, pada awal berdirinya.
Mengenal Salafiyah: Awal dan Akar
Salafiyah dihidupkan oleh Ibnu Taimiyah, karena pada saat itu, umat Islam mengalami era kemunduran atau zaman Taklid.
Ajaran Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kaum Muslim pun dihadapkan pada situasi dan tantangan intelektual baru yang beragam. Tentu saja, tantangan itu harus segera direspons dengan solusi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
‘’Selain menggunakan Alquran, umat Islam juga menggunakan pemikiran rasional untuk menjelaskan konsep dan doktrin Islam,’’ ungkap John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford. Kaum Muslim menggunakan teknik itu untuk menjelaskan berbagai persoalan, seperti eksistensi Allah, sifat ilhahi, sifat Alquran, hingga menjawab pertanyaan apakah Allah akan terlihat di surga.
Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan pada 35 H/656 M, konflik di kalangan umat Islam mulai menajam. Kontrovesi terkait berbagai topik, seperti iman, status orang berdosa, sifat tindakan manusia, kebebasan dan tekad, serta keimaman telah melahirkan beragam aliran teologi, seperti Qadiriyah, Jabariyah, Shifatiyah, Khawarij, dan Muktazilah.
Munculnya beragam mazhab teologi itu pun memantik perseteruan di antara para pengikutnya. ‘’Kondisi itu mengundang keprihatinan Ahmad Ibnu Hanbal, pendiri mazhab keempat Sunni,’’ papar Esposito. Sehingga, Ibnu Hanbal didapuk sebagai juru bicara salafiyah klasik.
Ia menginginkan agar umat Muslim segera kembali kepada ajaran Islam yang murni dan sederhana berdasarkan Alquran, Sunah, dan hadis para salaf. Istilah Salafi, menurut sebagain kalangan, pertama kali muncul dalam kitab Al-Ansaab karya Abu Saad Abd al-Kareem al-Sama'ni, yang meninggal pada 562 H/1166 M.
Kata salafiyah, menurut Esposito, diturunkan dari akar kata salaf yang berarti ‘’mendahului’’. Alquran menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu, dalam surah Al-Maidah [5] ayat 95 dan Al-Nafal [8] ayat 38. ‘’Dalam leksikon Arab, salaf adalah leluhur yang saleh,’’ ungkap guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.
Sebagai seorang juru bicara Salafi klasik, Ibnu Hanbal telah meletakkan sejumlah doktrin Salafiyah. Pertama, keutamaan teks wahyu di atas akal. Menurutnya, tak ada kontradiksi antara wahyu atau kitab suci dan akal. Kedua, menolak disiplin kalam (teologi). Salafiyah memandang persoalan yang diangkat mazhab-mazhab teologi sebagai sesuatu yang bidah.
Ketiga, Ibnu Hanbal menekankan pentingnya ketaatan ketat kepada Alquran, Sunah, dan konsensus (ijmak) para leluhur yang saleh. ‘’Ibnu Hanbal memagang Alquran dan ajaran Nabi SAW sebagai sumber otoritatif dalam memahami masalah agama,’’ tutur guru besar untuk bidang Agama dan Hubungan Internasional pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.
Seiring bergilirnya waktu, pendekatan Salafiyah mulai berevolusi dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi umat Islam. Gerakan Salafiyah lalu dihidupkan lagi oleh Ibnu Taimiyah, ulama dan pemikir Muslim yang hidup di antara abad ke-13 dan ke-14 M.
Salafiyah dihidupkan oleh Ibnu Taimiyah, karena pada saat itu, umat Islam mengalami era kemunduran. Terlebih, setelah kota Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah dihancurkan bangsa Mongol dalam sebuah invasi pada 1258 M. Dunia Islam yang selama tujuh abad sebelumnya bersinar mulai mengalami kegelapan.
Dunia Islam mengalami kemunduranalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kezaliman merajarela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bias berijtihad secara murni lagi. Saat itu, umat Islam berada dalam zaman Taklid.
Masa Taklid disebut para sejarawan dan pemikir Islam sebagai masa kemunduran. Pada pertengahan abad ke-13 M itu, masyarakat Muslim banyak yang menjadi penyembah kuburan, nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat. Mereka berharap berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali).
Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Masyarakat Islam pada waktu itu terjebak pada perbuatan syirik dan bidah dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhayul. Kondisi itulah yang membuat Ibnu Taimiyah tergerak untuk menghidupkan gerakan Salafiyah
Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam. Ketiga generasi kaum Muslimin itu biasa disebut sebagai kaum Salaf.
Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah yang dihidupkan Ibnu Taimiyah antara lain: pintu ijitihad selalu terbuka sepanjang masa; taklid atau ikut-ikutan tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; diperluka kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa; perdebatan teologis (kalamiah), seperti Muktazilah, Jahamiyah dan lainnya dihindarkan; ayat Alquran dan hadis yang mutasyabihat (tak jelas menunjuk pada satu arti) tak ditafsirkan dan tidak ditakwilkan.
Gerakan Salafiyah juga dikenal sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan). Ada pula yang menyebutnya, gerakan Islah (perbaikan) dan gerakan Reformasi. Tak heran, jika Ibnu Taimiyah ditabalkan sebagai Bapak Tajdid, Bapak Islah, Bapak Reformasi, serta bapak Pembaharuan dalam Islam.
Sejak saat itu, gerakan Salafiyah mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di era pramodern, yakni abad ke-18 M, gerakan Salafiyah kembali dihidupkan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) lewat Wahhabiyah. Gerakan itu lahir sebagai sebuah upaya untuk mereformasi umat yang sedang mengalami kehancuran, baik secara moral dan sosial.
Gerakan serupa juga turut mempengaruhi lahirnya Sanusiyah dan Mahdiyah. Bahkan, di luar Arab muncul gerakan Usuman Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria. Selain itu, ada pula gerakan Ahmad Sirhindi (1564-1624), dan Sayyid Ahmed Barelwi (1786-1831) di Anak Benua India. Mereka menggelorakan persatuan Islam, pemurnian agama, serta reformasi moral dan sosial.
No comments:
Post a Comment