EVENT TICKET

Monday, December 5, 2011

Antara Ijtihad Dan Taklid

Antara Ijtihad Dan Taklid


Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya.

 Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam mujtahid. Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.

Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam. Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain? Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid,


Hakikat Islam


Bagaimana mungkin Al Qur'an yang sempurna keseluruhannya sejajar dengan produk manusia yang penuh dengan kekurangan? Seandainya ucapan ini keluar dari orang yang telah ditegakkan hujjah atasnya, tentu ia menjadi kafir; akan tetapi kita memakluminya, yang dikarenakan kebodohannya. Kami nasihatkan kepada orang-orang seperti ini agar bertaqwa kepada Allah, ingat kematian, kebangkitan, pertemuannya dengan Allah Penguasa alam semesta, hisab, pahala dan siksa. Maka wajib mengimani bahwa Al Qur'an adalah Kalam Allah (bukan makhluk dan bukan produk budaya), tidak mengandung kebatilan dan kekurangan, semuanya merupakan kebaikan, agama dan kebenaran, dan selainnya adalah batil dan rusak.


Sehingga, selama-lamanya tidak boleh mengatakan bila Al Qur'an sebagai produk budaya. Ucapan seperti ini sesat menyesatkan. Al Qur'an, sebagaimana saya katakan tadi, adalah sempurna keseluruhannya, sebagaimana firman Allah tentang ucapan jin yang mendengarkan Al Qur'an : Lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya.

Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.



Sikap Islam Terhadap Perbudakan

Sebenarnya perbudakan dahulu telah tersebar ke seluruh penjuru dunia/bumi, tidak hanya pada zaman Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia, dan Yunani, seluruhnya mengenal perbudakan. Dan para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini. Bahkan mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau karena menjadi pencuri.

 Tidak hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian. Mereka memandang hina terhadap para budak, karena itu para budak diperkerjakan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan kotor dan berat.

 Dan karena itu pula Aristoteles menganggap para budak hidupnya tidak kekal di akherat, baik mereka di Surga atau di Neraka, jadi para budak tidak bedanya dengan hewan. Fir’aun pun memperbudak Bani Israil dengan perlakuan yang paling keji, sehingga dengan tega ia membunuh anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.

Orang-orang Eropa pun ketika menemukan benua Amerika, mereka memberikan sikap yang paling buruk terhadap penduduk asli. Inilah perbudakan, sebab, pengaruh dan bentuknya di dalam ajaran selain Islam. Contoh yang baru saja kami sampaikan baru sedikit dari sekian banyak perlakuan keji merek kepada para budak.



Orang Awam : Antara Taklid Dan Ijtihad


Membicarakan orang awam, maka tidak terlepas dari salah satu persoalan yang berhubungan dengan masalah taklid. Atau bagaimana cara melaksanakan dan memandang perkara-perkara keagamaan yang belum dipahami, sehingga memerlukan rujukan untuk mengetahui ilmunya. Karena pada umumnya orang awam, memang kebanyakan tidak menguasai permasalahan.

 Kadang ada yang terlampau eksplosif melakukan aksi dalam bentuk perbincangan adu argumentasi, bahkan fisik ataupun aksi lainnya yang mungkin justeru menjauhkannya dari kaidah syariat. Barangkali ada yang berdalih, bukankah setiap muslim mempunyai kewajiban yang sama untuk saling menyampaikan kebenaran?

 Pernyataan ini tidak keliru. Akan tetapi, hendaklah setiap muslim juga harus memahami terhadap kemampuan dan posisi dirinya. Apakah sebagai ulama, penguasa, qadhi, penuntut ilmu atau sebagai orang awam (rakyat biasa)? Sebab, masing-masing memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang berbeda. Dan setiap amal perbuatan itu harus dilandasi dengan hujjah. Lantas bagaimana seseorang harus mengambil hujjah? Terlebih bagi seorang awam; bertaklid ataukah mendasarkan kepada ilmu ‘sebatas’ yang diketahuinya?



Ulama-Ulama Pembela Da'wah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang

Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki da’wah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya da’wah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits–hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penutut ilmu syar’I juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syaratnya terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat–syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya.

Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya, maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam da’wah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah da’wah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya.

Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya. Dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi.



Pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terhadap Sahabat Nabi Radhiyallahu Anhum

Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam.

 Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut. Allah l telah berfirman, yang artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.

Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shalalllahu 'alaihi wa sallam.

No comments:

Post a Comment