EVENT TICKET

Tuesday, March 20, 2012

Hukum mendengarkan musik dan lagu serta nonton sinetron di televisi dalam Islam

Hukum mendengarkan musik dan lagu serta nonton sinetron di televisi dalam Islam

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mendengarkan musik dan lagu ? Apa hukum menyaksikan sinetron yang di dalamnya terdapat para wanita pesolek ?

Jawaban
Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".[Luqman : 6]

Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : "Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu".

Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an, Penafsiran Al-Qur'an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur'an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa' (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa', tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya.

"Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik".

Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy'ari atau Abu Amir Al-Asy'ari]

Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan. Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.

Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin, karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a'lam.

[Fatawal Mar'ah 1/106]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]


HUKUM NASYID-NASYID ISLAMI


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani




Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Banyak beredar di kalangan pemuda muslim kaset-kaset nasyid yang mereka sebut "an-nasyid Islamiyyah". Bagaimana sebenarnya permasalahan ini ?

Jawaban
Jika an-nasyid ini tidak disertai alat-alat musik, maka saya katakan "pada dasarnya tidak mengapa", dengan syarat nasyid tersebut terlepas dari segala bentuk pelanggaran syari'at, seperti meminta pertolongan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, bertawassul kepada makhluk, demikian pula tidak boleh dijadikan kebiasaan (dalam mendengarkannya,-pent), karena akan memalingkan generasi muslim dari membaca, mempelajari, dan merenungi Kitab Allah Azza wa Jalla yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur'an dengan membaguskan suaranya, maka dia bukan dari golongan kami". [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5023 dan Muslim no. 232-234]

"Artinya : Bacalah Al-Qur'an dan baguskanlah suaramu dengannya sebelum datang beberapa kaum yang tergesa-gesa mendapat balasan (upah bacaan), dan tidak sabar menanti untuk mendapatkan (pahalanya di akhirat kelak), maka bacalah Al-Qur'an dengan membaguskan suara(mu) dengannya".

Lagipula, barangsiapa yang mengamati perihal para sahabat Radhiyallahu 'anhum, dia tidak akan mendapatkan adanya annasyid-annasyid dalam kehidupan mereka, karena mereka adalah generasi yang sungguh-sungguh dan bukan generasi hiburan.

[Al-Ashaalah, 17 hal. 70-71]

[Disalin ulang dari buku Biografi Syaikh Al-Albani Rahimahullah Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini. Penyusun Mubarak bin Mahfudh Bamuallim Lc, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]

WAJIB WASPADA DARI NASYID-NASYID DAN MELARANG JUAL BELI SERTA PEREDARANNYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Sesuatu yang sepantasnya diperhatikan ialah, adanya kaset-kaset berisi nasyid-nasyid paduan suara yang beredar dikalangan para pemuda aktivis Islam yang mereka namakan nasyid Islam, padahal itu termasuk nyanyian. Dan kadangkala nasyid tersebut mengandung suara yang menggoda, dijual di pameran-pameran bersama kaset-kaset rekaman Al-Qur'an dan ceramah-ceramah agama.

Penamanaan nasyid ini dengan nasyid Islami adalah penamaan yang salah, karena Islam tidak mensyariatkan nasyid bagi kita. Tetapi mensyariatkan kepada kita dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur'an, dan belajar ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid itu termasuk agama (tata-cara) orang sufi ahli bid'ah, yakni orang-orang yang menjadikan hal yang sia-sia dan permainan sebagai agamanya. Padahal menjadikan nasyid bagian dari agama adalah tasyabbuh dengan orang-orang Nashara yang menjadikan nyanyian bersama, serta senandung sebagai bagian (ibadah) agama mereka.

Maka dari itu wajib (bagi kaum muslimin) agar waspada dari nasyid-nasyid ini, serta melarang peredaran serta penjualannya disamping kandungan isinya yang jelek, yakni mengobarkan fitnah berupa semangat yang terburu nafsu (kurang perhitungan), dan menaburkan benih perselisihan diantara kaum muslimin. Orang yang menyebar luaskan nasyid ini kadang berdalih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah diperdengarkan disisi beliau syair-syair, dan beliau menikmatinya serta menetapkan (kebolehan)nya.

Maka jawabnya : Bahwa syair-syair yang diperdengarkan disisi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.

Para sahabat melantunkannya secara sendirian lantaran makna yang dikandungnya. Mereka melantunkan sebagan syair ketika bekerja melelahkan, seperti membangun (masjid), berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas kebolehan macam lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini. Bukannya dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan dan dakwah ! Sebagaimana hal ini merupakan kenyataan di zaman sekarang, yang mana para santri ditalqin (dilatih menghafal) nasyid-nasyid ini, lalu dikatakan sebagai nasyid-nasyid Islam. Ini merupakan perbuatan bid'ah dalam agama. Sedang ia merupakan agama kaum sufi ahli bid'ah. Mereka adalah orang-orang yang dikenali menjadikan nasyid-nasyid sebagai bagian agama.

Maka wajib memperhatikan makar-makar ini. Karena pada awalnya kejelekan itu bermula sedikit lalu berkembang lambat laun menjadi banyak, ketika tidak segera diberantas pada saat kemuculannya.

[Al-Khuthabul Minbariyah, Syaih Shalih Al-Fauzan]

TIDAK ADA YANG NAMANYA NASYID-NASYID ISLAMI DALAM KITAB-KITAB SALAF

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Wahai syaikh, banyak dibicarakan tentang nasyid Islami. Ada yang berfatwa membolehkannya. Ada juga yang mengatakan bahwa ia sebagai pengganti kaset nyanyian. Bagaimana menurut pandangan anda ?

Jawaban
Penamaan ini tidak benar. Ia adalah nama yang baru. Tidak ada penamaan nasyid-nasyid Islami dalam kitab para ulama salaf, serta ahlul ilmi yang pendapat mereka diperhitungkan. Dan sudah menjadi maklum bahwa kaum sufilah yang menjadikan nasyid-nasyid itu sebagai agama mereka dan inilah yang mereka sebut "sama" (nyanyian).

Pada masa kita ini, ketika banyak muncul kelompok dan golongan, maka masing-masing kelompok memiliki nasyid yang mendorong semangat yang kadang mereka namakan nasyid-nasyid Islami. Penamaan ini adalah tidak benar. Dan tidak boleh mengambil nasyid-nasyid ini serta mengedarkannya dikalangan manusia. Wa billahit Taufiq.

[Majalah Ad-Dakwah Vol 1632, Tanggal 7-11-1416H]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 06 Tahun IV. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik-Jatim]

HUKUM NASYID ATAU LAGU-LAGU YANG BERNAFASKAN ISLAM


Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta.



Pertanyaan
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sesungguhnya kami mengetahui tentang haramnya nyanyian atau lagu dalam bentuknya yang ada pada saat ini karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela atau perkataan-perkataan lain yang sama sekali tidak mengandung manfaat yang diharapkan, sedangkan kami adalah pemuda muslim yang hatinya diterangi oleh Allah dengan cahaya kebenaran sehingga kami harus mengganti kebiasaan itu. Maka kami memilih untuk mendengarkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya terkandung semangat yang menggelora, simpati dan lain sebagainya yang dapat menambah semangat dan rasa simpati kami. Nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam adalah rangkaian bait-bait syair yang disenandungkan oleh para pendakwah Islam (semoga Allah memberi kekuatan kepada mereka) yang diekspresikan dalam bentuk nada seperti syair 'Saudaraku' karya Sayyid Quthub -rahimahullah-. Apa hukum lagu-lagu bernafaskan Islam yang di dalamnya murni terkandung perkataan yang membangkitkan semangat dan rasa simpati, yang diucapkan oleh para pendakwah pada masa sekarang atau pada pada masa-masa lampau, di mana lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.

Apakah boleh mendengarkan nasyid atau lagu-lagu bernafaskan Islam tersebut jika lagu itu diiringi dengan suara rebana (gendang)? Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas ini, saya mendengar bahwa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam-membolehkan kaum muslimin untuk memukul genderang pada malam pesta pernikahan sedangkan genderang merupakan alat musik yang tidak ada bedanya dengan alat musik lain? Mohon penjelasannya dan semoga Allah memberi petunjuk.

Jawaban
Lembaga Fatwa menjelaskan sebagai berikut: Anda benar mengatakan bahwa lagu-lagu yang bentuknya seperti sekarang ini hukumnya adalah haram karena berisi kata-kata yang tercela dan tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan cenderung mengagungkan nafsu dan daya tarik seksual, yang mengundang pendengarnya untuk berbuat tidak baik. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang diridlaiNya. Anda boleh mengganti kebiasaan anda mendengarkan lagu-lagu semacam itu dengan nasyid atau lagu-lagu yang bernafaskan Islam karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghirah dalam beragama, membangkitkan rasa simpati, penjauhan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah -Subhanahu Wa Ta'ala-, merubah kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ketentuanNya menjadi perlindungan dengan syari'at serta berjihad di jalanNya.

Tetapi tidak boleh menjadikan nasyid itu sebagai suatu yang wajib untuk dirinya dan sebagai kebiasaan, cukup dilakukan pada saat-saat tertentu ketika hhal itu dibutuhkan seperti pada saat pesta pernikahan, selamatan sebelum melakukan perjalanan di jalan Allah (berjihad), atau acara-acara seperti itu. Nasyid ini boleh juga dilantunkan guna membangkitkan semangat untuk melakukan perbuatan yang baik ketika jiwa sedang tidak bergairah dan hilang semangat. Juga pada saat jiwa terdorong untuk berbuat buruk, maka nasyid atau lagu-lagu Islami tersebut boleh dilantunkan untuk mencegah dan menghindar dari keburukan.

Namun lebih baik seseorang menghindari hal-hal yang membawanya kepada keburukan dengan membaca Al-Qur'an, mengingat Allah dan mengamalkan hadits-hadits Nabi, karena sesungguhnya hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi jiwa serta lebih menguatkan dan menenangkan hati, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." [Az-Zumar: 23]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." [Ar-Ra'd: 28-29]

Sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk menjadikah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai penolong mereka dengan cara menghafal, mempelajari serta mengamalkannya. Selain itu mereka juga memiliki nasyid-nasyid dan nyanyian yang mereka lantunkan seperti saat mereka menggali parit Khandaq, membangun masjid-masjid dan saat mereka menuju medan pertempuran (jihad) atau pada kesempatan lain di mana lagu itu dibutuhkan tanpa menjadikannya sebagai syiar atau semboyan, tetapi hanya dijadikan sebagai pendorong dan pengobar semangat juang mereka.

Sedangkan genderang dan alat-alat musik lainnya tidak boleh dipergunakan untuk mengiringi nasyid-nasyid tersebut karena Nabi -Shollallaahu'alaihi wa sallam- dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Islamiyah, al-Lajnah ad-Da'imah, 4/532-534]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Jurasiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]


HUKUM SANDIWARA ISLAMI DAN NASYID ISLAMI


Oleh
Syaikh DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan


Pertanyaan.
Syaikh DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apa hukum sandiwara Islami, dan nasyid-nasyid yang dinamakn nasyid Islami, yang hal ini dilakukan oleh sebagian pemuda di pusat-pusat hiburan selama musim panas ?

Jawaban
Sandiwara [1], saya katakan tidak boleh karena.

Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir [2] sebab mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang (tertawa) [3]. Sandiwara itu biasanya dimaksudkan untuk hiburan, sehingga melalaikan orang yang menyaksikan. Ini dari satu sisi.

Kedua: Individu-individu yang ditiru, kadang-kadang berasal dari tokoh Islam, seperti sahabat. Hal ini dianggap sebagai sikap meremehkan mereka[4] , baik si pemain merasa atau tidak. Contoh: anak kecil atau seseorang yang sangat tidak pantas, menirukan ulama atau sahabat. Ini tidak boleh. Kalau ada seseorang datang menirukan kamu, berjalan seperti jalanmu, apakah engkau ridha dengan hal ini? Bukankah sikap ini digolongkan sebagai sikap merendahkan terhadap kamu? Walaupun orang yang meniru tersebut bermaksud baik menurut sangkaannya. Tetapi setiap individu tidak akan rela terhadap seseorang yang merendahkan dirinya.

Ketiga: Yang ini sangat berbahaya, sebagian mereka menirukan pribadi kafir seperti Abu Jahal atau Fir'aun dan selain mereka. Dia berbicara dengan pembicaraan yang kufur yang menurut dugaannya dia hendak membantah kekufurannya, atau ingin menjelaskan bagaimana keadaan jahiliyah. Ini adalah tasyabuh (meniru). Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam melarang tasyabuh dengan orang-orang musyrik dan kufur [5] baik meniru (menyerupai) kepribadian maupun perkataannya. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada petunjuk Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam serta bukan dari salafu ash shalih maupun petunjuk kaum muslimin. Model-model sandiwara ini tidak dikenal kecuali dari luar Islam. Masuk kepada kita dengan nama dakwah Islam, dan dianggap sebagai sarana-sarana dakwah. Ini tidak benar karena sarana dakwah adalah tauqifiyah (ittiba'). Cukup dengan yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak butuh jalan seperti ini.[6]. Bahwasanya dakwah akan tetap menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tanpa adanya model-model sandiwara ini. Tatkala cara ini (sandiwara) datang tidaklah menampakkan kebaikan kepada manusia sedikitpun, dan tidak bisa mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa cara ini (sandiwara) adalah perkara negatif dan tidak ada faedahnya sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang membahayakan.

Lalu jika ada orang yang berkata,'Sesungguhnya Malaikat itu menyerupai bentuk anak Adam.

Kami jawab, 'Malaikat-malaikat itu datang dalam bentuk anak Adam, karena manusia tidak mampu melihat dalam bentuknya yang asli. Ini merupakan kebaikan bagi manusia. Sebab jika malaikat datang dengan bentuk mereka yang sebenarnya, maka manusia tidak akan mampu berbicara dengan mereka dan tidak bisa melihat kepada mereka.[7] Para malaikat tatkala menyerupai bentuk manusia tidak bermaksud bermain sandiwara sebagaimana yang mereka inginkan. Malaikat itu menyerupai manusia dalam rangka memperbaiki. Karena malaikat mempunyai bentuk sendiri yang berbeda dari manusia. Adapun manusia maka bagaimana bentuk seseorang itu berubah kepada bentuk manusia yang lain. Apa yang mendorong kepada perubahan ini?

[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufidah An-As’illah Al-Manahij Al-Jadidah, Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihah Al-Haritsi, Penerbit Yayasan Al-Madinah, Penerjemah Muhaimin]
__________
Foote Note
[1]. Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam kitabnya At-Tamtsil,'Keberadaan sandiwara awalnya adalah bentuk peribadahan non-Islam. Sebagian ahlu ilmi menguatkan, bahwa inti sandiwara itu adalah bagian dari syiar-syiar peribadahan penyembah berhala di Yunani.(Hal 18).

Syaikh Al-Islam berkata dalam kitabnya Iqtidha Sirath Al-Mustaqim (191/ cet. Darul Hadits) tentang apa yang dikerjakan kaum Nashara pada hari raya mereka yang disebut ’Hari rayanya orang-orang yang berkepala udang” (id asy-Sya’anin): ”Mereka keluar pada hari raya dengan membawa daun zaitun dan sejenisnya, dan mereka menyangka sikapdemikian itu menyerupai apa yang ada pada Al-Masih ’Alaiahis Sallam. Hal ini telah dinukil oleh Syaikh Bakar Abu Zaid dalam At-Tamtsil. Syaikh Bakar mengisyaratkan tentang hal itu dalam kitabnya hal. 27-28 : ”Engkau telah mengetahui bahwa sandiwara itu tak ada hubungannya dengan sejarah kaum muslimin pada generasi yang pertama(utama). Kedatangannya tak disangka-sangka pada masa sedikitnya orang yang berilmu, yakni pada abad 14H. Kemudian disambut dengan mendirikan rumah-rumah hiburan dan gedung-gedung sandiwara, serta merta berpindahlah dari tempat-tempat peribadahan kaum Nashara kepada sekelompok pelaku sandiwara Islami di sekolah-sekolah daripada sebagian jamaah Islam.

[Saya (Abu Abdillah) berkata : Contohnya Ikhwanul Muslimin”]

Apabila engkau memaklumi hal ini, maka ketahuilah bahwa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang mengangkat ahlinya kepada derajat mulia dan sempurna tentu menuntut penolakan dengan cara itu. Sebagaimana diketahui, bahwa suatu amal mungkin termasuk sebagai ibadah, atau bisa jadi termasuk sebagai adat. Maka asal ibadah, tidaklah disyariatkan kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan asal adat adalah tidak dilarang kecuali apa yang telah Allah larang. Oleh karena itu sandiwara Islami itu tidak boleh diadakan sebagai jalan ibadah, atau pun sebagai bagian dari kebiasaan atau adat yang mengandung unsur permainan dan hiburan.

Sandiwara Islami tidak ditetapkan dalam syariat, dia jalan yang baru. Sebagian dari keseluruhan ajaran Islam adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam ,'Barangsiapa yang membikin perkara-perkara baru dalam urusan kami(Islam), yang perkara itu buka dari Islam maka tertolak'. Karena itu, apa yang telah dilihat pada beberapa sekolahan atau kampus-kampus, yakni adanya permainan sandiwara Islami maka sesungguhnya itu adalah sandiwara bid'ah, karena telah diketahui asalnya. amalan tersebut bagi kaum muslimin adalah perkara yang keluar dari daerah yang ditentukan berdasarkan dalil syar'i.

Karena amalan tersebut merupakan peribadahan penyembah berhala dari Yunani dan ahlu bid'ah Nashara, maka tak ada dasarnya dalam Islam secara mutlak. Jadi amalan itu adalah perkara baru dalam Islam dan setiap perkara baru dalam Islam adalah bid'ah yang menyerupai syariah. Nama yang pas untuk istilah itu berdasar syariat Islam adalah 'Sandiwara Bid'ah'.

Apabila sandiwara ini dimasukkan sebagai adat, maka hal itu menyerupai musuh-musuh Allah (kafir). Sedangkan kita telah dilarang menyerupai mereka. Sementara perkara itu tidak dikenal kecuali dari mereka.

Saya (Abu Abdillah) berkata, ”Sesungguhnya ; ’Sandiwara Islami’, sebagaimana yang mereka namakan –hanya terdapat di pusat hiburan selama musim panas dan sekolah-skolah, dianggap sebagai salah satu metode dakwan dan cara mempengaruhi para pemuda. Ini merupakan akal-akalan mereka, yang secara syara tertolak. Padahal cara dan metode dakwah kepada Allah tauqifiyah (ittiba), maka tidak ada hak bagi seseorang untuk membikin sesuatu (untuk peribadahan) dari dirinya. Saya tidak akan membicarakan masalah sarana dakwah secara panjang lebar.

Jika ada orang yang berkata,'Sesungguhnya sarana-sarana berdakwah merupakan bagian dari mashalihul Mursalah'. Kami jawab,'Apakah syariah meremehkan segala kebaikan bagi hamba-hambanya?

Jawabannya terdapat dalam keterangan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut, 'Secara singkat bahwa syariah tidak meremehkan kebaikan (maslahah) sama sekali, bahkan Allah Ta'ala telah menyempurnakan dien nikmatNya bagi kita. Jadi tidak ada yang mendekatkan diri ke surga kecuali kita telah diperintahkan beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengerjakannya. Beliau telah meninggalkan kita di atas lembaran yang putih bersih. Malamnya seprti siangnya, tidak menyimpang daripadanya melainkan orang yang binasa.[Dinukil dari kitab : Hujaju Al-Qawiyyah Ala Anna Wasa’ila ad-Da’wah Tauqifiyah karya Syaikh Abdussallam bin Barjas hal. 40]

Saya (Abu Abdillah) berkata, 'Apabila sejumlah besar dari berbagai kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertaubat kepada al-haq dengan jalan yang syar'i dan memang harus demikian. Maka mengapa seorang da'i mencari jalan yang tidak terdapat di dalam syara' ? Lagipula bahwa sesungguhnya apa yang terdapat dalam syara' sungguh telah mencukupi untuk memperoleh tujuan dakwah kepada Allah. Yakni menjadikan ahlu maksiat bertaubat dan orang-orang yang tersesat mendapat petunjuk. Hendaklah para da'i melapangkan dirinya tatkala berdakwah kepada Allah dengan sarana yang para sahabat melapangkan diri mereka di atasnya. Sesungguhnya mereka kembali menuju kepada ilmu. Ibnu Mas'ud berkata,'Sesungguhnya kalian akan menciptakan perkara yang baru dan akan diciptakan perkara baru untuk kalian, Maka, apabila kalian melihat perkara yang baru, wajib atas kalian berpegang dengan perkara yang pertama (Rasulullah dan para sahabat)'. Ibnu Mas'ud berkata pula,'Hati-hati kalian terhadap bid'ah, hati-hati kalian terhadap berlebih-lebihan, hati-hati kalian terhadap berdalam-dalaman dan wajib kalian berpegang teguh dengan generasi yang dahulu'.[ Dinukil dari kitab : Hujaju Al-Qawiyyah Ala Anna Wasa’ila ad-Da’wah Tauqifiyah karya Syaikh Abdussallam bin Barjas hal. 43]

Syaikh Abdussalam berkata,'Sesungguhnya menentukan kebaikan dalam suatu perkara adalah sulit sekali. Kadang-kadang seorang pengamat menyengka bahwa ini adalah maslahah, padahal ini, sesungguhnya yang berkuasa menentukan kemaslahatan adalah ahlu ilmi. Merekalah yang dipenuhi keadilan dan bashirah, yang senantiasa mewujudkan hukum-hukum syariah serta kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu suatu masalah butuh sikap hati-hati yang besar dan sangat waspada dari penguasaan hawa nafsu jika menghendaki sesuatu yang baik. Hawa nafsu sering menghiasi sesuatu yang rusak menjadi tampak baik, sehingga banyak orang tertipu. Padahal bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu bagaimana para muqallid(orang yang taklid) itu bisa dikuasai dengan persangkaan kemudian menentukan bahwa ini adalah maslahah ? Bukankah ini merupakan sikap lancang terhadap dien dan sikap nakal terhadap hukum syar'i dengan tanpa keyakinan ? (hal 45)

Dia Abdussalam menukil juga dari Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwajiri rahimaullah, katanya : Sesungguhnya memasukkan sandiwara dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala bukanlah dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan dari sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin. Melainkan termasuk perkara baru pada zaman kita. Dan sungguh Rasulullah telah memperingatkan dari perkara-perkara yang baru, memerintahkan untuk menolaknya, serta mengabarkannya bahwa perkara baru itu adalah buruk dan sesat” (hal. 45)

[2]. Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta'ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,'Telah bersabda Rasulullah,

”Artinya : Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. [Dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi 2417 dan dia menshahihkannya]

[3]. Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Artinya : Celaka bagi orang-orang yang berbicara (mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia”.[Hadits Hasan, dikeluarkan oleh Hakim (I/46), Ahmad (V/3-5) dan At-Tirmidzi (2315)]

Mengiringi hadits ini Syaikh Islam berkata,'Dan sungguh Ibnu Mas'ud berkata : “Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda”
Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar'i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.[Majmu Fatawa (32/256)]

Tentang cerita-cerita, sungguh ulama' salaf membenci cerita-cerita dan majelis-majelis cerita. Mereka memperingatkan segala peringatan dan memerangi para narator (pencerita) dengan berbagai sarana. Dari kitab Al-Mudzakir wa At-Tadzkin wa Adz-Dzikr karya Ibnu Abi Ashim, tahqiq Khlaid Al-Ridadi (hal. 26) . Ibnu Ashim telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ali Radhiyallahu ;anhu melihat seseorang bercerita, maka dia berkata, Apakah engkau tahu tentang naskh (ayat yang menghapus) dan mansukh(yang dihapus)? Maka dia (pencerita itu) menjawab,Tidak. Ali berkata,Binasa engkau dan engkau telah membinasakan mereka.[ Al-Mudzakir wa At-Tadzkir hal. 82]

Imam Malik berkata, Sungguh saya benci cerita-cerita di masjid. Saya memandang berbahaya ikut bermajelis dengan mereka. Sesungguhnya cerita-cerita itu bid'ah.

Dari Salim berkata, “Bahwa Ibnu Umar bertemu dengan orang yang keluar dari masjid, maka dia berkata , ‘Tidak ada factor yang menyebabkan aku keluar (dari masjid) kecuali suara narrator kalian ini”. Imam Ahmad berkata,Manusia yang paling dusta adalah para narator dan orang yang paling banyak bertanya (dengan pertanyaan yang tidak ada faedahnya). Kemudian ditanyakan padanya (Imam Ahmad),Apakah Anda menghadiri majelis mereka ? Dia menjawab, Tidak.[Dinukil dari kitab Al-Bida wa Al-Hawadits karya At-Turtusyi, hal 109-112]

[4]. Salah satu nama sandiwara yaitu : Al-Muhakkah, yakni menirukan seseorang dalam gerakan-gerakannya. Telah datang hadits shahih yang mencela orang yang menirukan gerakan seseorang, dan larangan dari yang demikian itu, dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, 'Sungguh saya tidak suka menirukan seseorang dan sungguh bagi saya seperti ini dan seperti ini'. Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/136-206), At-Tirmidzi(2503).

[5] Hadits yang melarang menyerupai orang-orang musyrik dan kafir telah tersebar, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 'Selisihilah orang-orang Yahudi dan Nashara..'[Taqrib Ibnu Hibban (2186)], 'Berbedalah dengan orang-orang musyrik...' [Muslim(259)], 'Berbedalah dengan orang-orang Majusi..' [Muslim(260)]

[6]. Telah terbit sebuah kitab dengan judul Al-Hujaj Al-Qawiyyah ‘Ala Anna Wasa’ilah Da’wah Taufiqiyyah karya Syaikh Abdussallam bin Barjas bin Abdulkarim. Sebuah kitab yang bagus pembahasannya, kami nasehatkan supaya membaca kitab tersebt.

sumber: http://almanhaj.or.id

[7]. Kemudian sungguh malaikat itu tidak menirukan perkataan seseorang yang diserupai bentuknya, dan tidak berjalan seperti jalannya atau gerakan-gerakan lain yang dilakukan orang yang diseruapinya.

No comments:

Post a Comment