Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْنَ وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
Ilmu ini akan dipikul orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka menolak tahrif orang yang melewati batas, menolak intihaal ahli kebatilan dan ta’wil orang bodoh.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan periwayatan yang banyak, diantaranya:
1. Riwayat Ibrahim bin Abdirrahman Al ‘Udzri secara mursal [1] Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 10/209, dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233. Mereka meriwayatkan dari jalan Al Walid bin Muslim dari Ibrahim bin Abdirrahman dari orang tsiqah dari para gurunya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian juga ada jalan periwayatan lain dari Ibrahim ini, dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqah, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah 1/53, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 1/59, Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 29 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233 dari jalan Mu’an bin Rifa’ah As Salami.
Demikian juga Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’ 4/256, Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/17 meriwayatkan darinya.
2. Riwayat sahabat Usamah bin Zaid yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang lemah.
3. Riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam kitab Syaraf Ashhabil, hadits hal. 28 dengan sanadnya dari Abu Shalih Abdullah bin Shalih dari Laits bin Sa’ad dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Al Musayyab dari Ibnu Mas’ud. Abu Shalih seorang shaduq katsirul ghaladz [2] (teliti dalam menulis namun memiliki kelalaian).
4. Riwayat Ali bin Abi Thalib yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad mu’dhal [3].
5. Riwayat Abu Umamah Al Bahili yang dikeluarkan oleh Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad yang lemah.
6. Riwayat Mu’adz bin Al Jabal yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 11 dengan sanad yang lemah sekali.
7. Riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan dari beliau melalui tiga jalan.
a. Jalan periwayatan Abu Hazim Salman Al Asyja’i yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil. Dalam sanadnya ada Yazid bin Kisan seorang yang shaduq yukhti.[4]
b. Jalan periwayatan Abu Shalih Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dan Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang agak lemah.
c. Jalan periwayatan Abu Qubail Huyaiy bin Hani’ yang dikeluarkan oleh Al Bazar dalam Kasyful Astar, 1/86 dan Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa dengan sanad yang lemah sekali.
8. Riwayat Abdullah bin Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dengan sanad yang lemah sekali.
9. Riwayat Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, dengan sanad yang lemah sekali.
10. Riwayat Jabir bin Abdillah, disebutkan oleh Al Iraqi dalam At Taqyid Wal Idhah, hal. 139 belum dapat diketahui sanadnya.
11. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan As Sakhawi dalam Fathul Mughits, 1/294 dan belum diketahui sanadnya. [5]
Kesimpulannya.
Syaikh Abdul Aziz Ali Abdillathif menyatakan,“Sanad yang lemah sekali hanya ada pada riwayat Mu’adz bin Jabal, riwayat Al Bazzar dan ‘Uqaili, dari jalan periwayatan Abu Qubail dari hadits Abu Hurairah, riwayat Abdilah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr. Yang lainnya kelemahannya tidak berat.”[6]
Hadits ini dishahihkan Imam Ahmad dan dilemahkan oleh Imam Al Iraqi. Yang rajih, hadits ini adalah hadits hasan dengan banyaknya jalan periwayatan, sebagaimana dinyatakan Syaikh Ali Hasan Al Halabi, dalam kitab beliau At Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 24 dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Hilyatul ‘Alim Al Mu’alim Wa Bulghatit Thalib Al Muta’allim, hal. 77. Wallahu a’lam.
SYARAH KOSA KATA
• يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْم : ilmu disini ialah ilmu kitab dan sunnah atau agama. Dinyatakan oleh Imam yang mulia Muhammad bin Sirin,“Sesungguhnya ilmu ini ialah agama. Maka lihatlah, dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [7]
• مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ : bermakna, ilmu kitab dan sunnah ini akan dibawa pada setiap generasi yang datang setelah Salaf oleh orang yang ‘adil [8] dari mereka. Ibnul Qayim menyatakan,“Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, bahwa ilmu yang dibawanya akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya pada setiap generasi, sehingga tidak terlantar dan hilang.” [9] Kemudian yang dimaksud orang adil disini ialah para ulama pewaris para nabi, yang bertugas di atas tiga hal. Yaitu, menolak sikap ghuluw (melampaui batas), menghancurkan kebatilan dan membongkar kebodohan, sebagaimana dalam hadits di atas. [10]
• يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ : bermakna menolak perubahan orang yang melampaui batas dalam permasalahan agama.
Tahrif, adalah berpaling dari posisi dan kebenaran kepada yang lainnya [11]. Tahrif ini terbagi menjadi dua, yaitu tahrif lafadz dan tahrif makna. Tahrif makna inilah yang dinamakan oleh ahli bid’ah sebagai ta’wil.
Ibnul Qayyim menyatakan, tahrif terbagi menjadi dua, (yaitu) tahrif lafdzi dan tahrif maknawi. Tahrif lafdzi bermakna merubahnya, adakalanya dengan penambahan atau pengurangan lafadz atau dengan perubahan harakat i’rob atau perubahan selain i’robnya. Demikian ini empat bagian tahrif lafadz. Al Jahmiyah dan Rafidhah melakukan itu semua, namun mereka hanya melakukan tahrif terhadap nash hadits dan tidak dapat melakukannya pada lafadz Al Qur’an. Walaupun demikian Rafidhah tetap banyak melakukannya terhadap lafazd Al Qur’an dan menuduh Ahlus Sunnah yang melakukan perubahan Al Qur’an.
Lalu Ibnul Qayyim menyatakan, adapun tahrif maknawi ialah tahrif yang mereka tampakkan dan kembangkan dengan nama ta’wil. Demikian ini merupakan istilah yang salah, diada-adakan dan tidak pernah digunakan dalam bahasa Arab. Ta’wil ini bermakna memalingkan makna dari yang semestinya. Hakikatnya, ialah memberikan kepada lafadz makna lain dengan adanya sedikit kesamaan diantara makna asal dan makna ta’wil tersebut. [12]
• وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْن : membongkar kedustaan ahli bathil, karena intihal. Artinya, bila seseorang mendakwakan (mengklaim) sesuatu untuk dirinya secara dusta, baik berupa sya’ir atau perkataan, padahal itu milik orang lain.
• وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ : menolak takwil orang yang melakukannya tanpa dasar ilmu dan pemahaman terhadap ayat dan hadits Nabi, lalu memalingkannya dari dzahir lafadznya.[13]
SYARAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan para ulama setelah meninggalnya para nabi dan rasul. Mereka menunjuki orang tersesat kepada petunjuk dan membuat mereka dapat melihat kebenaran agama Allah secara benar. Berapa banyak orang yang tertolong dengan sebab ajaran dan perjuangan dakwah mereka. Alangkah baiknya pengaruh mereka terhadap masyarakat dan umat ini.
Demikianlah tugas para ulama pengemban ilmu. Mereka harus menjaga agama Islam dan umatnya dari seluruh kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Mereka menjaganya dari perpecahan dan kerusakan akibat hal-hal tersebut.
Namun apa yang mereka terima? Cercaan, teror dan berbagai kecaman datang silih berganti. Mereka dihujat sebagai pemecah belah umat, peruncing perbedaan umat, suka memfitnah dan segudang tuduhan lainnya. Itulah segala resiko, dari tugas pengemban ilmu yang mereka peroleh. Mereka tetap melaksanakan tugas menjaga agama dan umat ini dari perpecahan dan kehancuran, dengan mencurahkan kasih-sayangnya agar umat ini hidup di bawah lindungannya. Mereka hentikan para penyesat dan musuh Allah dari kegiatan pemurtadan dan penyesatan umat, dengan beramar makruf nahi mungkar, mengajak manusia bertauhid dan menjauhi segala kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan.
Merekalah yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan umat, menegakkan tiang, kekuatan dan kejayaan Islam atas agama yang lainnya dan menghancurkan hawa nafsu, kebidahan, kefajiran dan kemaksiatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,“Para ulama memiliki kewajiban atas umat untuk menjaga dan menyampaikan agama ini. Jika mereka tidak menyampaikan ilmu agama ini kepada mereka atau melalaikan tugas menjaga agama, maka demikian itu merupakan kedzaliman yang paling besar terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. [Al Baqarah:159].
Hal ini, karena dampak jelek (bahaya) dari menyembunyikan ilmu mereka, berimbas kepada binatang dan yang lainnya. Sehingga semua melaknat mereka termasuk para binatang.” [14]
Oleh sebab itu para ulama salaf senantiasa membongkar dan menjelaskan kepada umat, tentang kebid’ahan dan para ahlinya. Tidak cukup hanya disitu, bahkan memperingatkan fitnah dan bahaya mereka terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam. Lihatlah apa yang dinyatakan imam ahli sunnah Ibnul Qayim, ketika berbicara tentang sikap para salaf terhadap kebid’ahan. Beliau rahimahullah berkata,” “Pengingkaran para salaf dan imam mereka semakin keras terhadap kebidahan. Mereka membantah pelakunya dari segala penjuru dunia dan memperingatkan dengan keras fitnah ahli bid’ah. Sampai pengingkaran mereka terhadap kebida’han melebihi pengingkaran mereka terhadap kekejian, kedzaliman dan permusuhan. Karena bahaya kebid’ahan, kehancuran agama dan penentangannya lebih besar.”[15]
Lihatlah wahai saudaraku kaum muslimin, bagaimana para ulama berusaha menjaga agama dan umat Islam dengan mengerahkan segenap kemampuannya membongkar kesalahan dan kebid’ahan yang ada! Semua itu, karena bahaya dan implikasi bid’ah yang demikian mengerikan terhadap persatuan dan kesatuan kaum muslimin.
Jadi membongkar penyimpangan agama, bukanlah memecah persatuan umat dan memperuncing perselisihannya. Namun itu sangat membantu kaum muslimin merapikan barisannya menuju persatuan dan kejayaan Islam di muka bumi ini. Demikian ini dapat dilihat dalam sejarah kaum muslimin yang sangat panjang, sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga saat ini.
Membongkar kesalahan dan penyimpangan agama, merupakan perkara penting dan menjadi tugas mulia para pengemban ilmu. Juga menjadi nikmat dan anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kaum muslimin. Sehingga umat dapat mengerti kesalahan mereka, lalu dapat memperbaikinya agar lebih baik dan sempurna.
Memang demikianlah yang disinyalir dalam hadits yang mulia ini, yang tentunya juga menunjukkan keutamaan dan ilmu mereka.
Imam Ibnul Qayim menyatakan: Hadits ini menunjukkan sanjungan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para ulama yang membawa ilmu warisannya. Ilmu ini diisyaratkan beliau n dalam sabdanya:
(هَذَا الْعِلْمَ). Semua pengemban ilmu yang disebutkan itu mesti seorang yang ‘adil. Oleh karena itu, sudah terkenal di kalangan umat ini sifat ‘adil para penukil dan pengemban ilmu tersebut, tanpa ada keraguan dan kebimbangan lagi.
Sudah pasti, setiap orang yang telah di sanjung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak didapatkan jarh (celaan) pada mereka. Sehingga seluruh para imam yang telah terkenal sebagai periwayat ilmu nabawi dan warisannya, adalah orang-orang yang ‘adil dengan sanjungan (ta’dil) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidaklah diterima celaan sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya.
Bebeda dengan orang yang terkenal dari kalangan umat ini dengan sifat tercela dan buruk. Semisal tokoh ahli bid’ah dan yang mengikuti mereka dari orang yang diragukan keshalihanya. Karena mereka, menurut umat ini bukan termasuk pengemban ilmu nabawi. Sehingga, tidaklah mengemban ilmu Rasulullah n , kecuali orang yang ‘adil.
Namun terkadang, terdapat kesalahan dalam memahami istilah ‘adil ini. Sehingga menganggap, bahwa yang dimaksudkan ialah orang yang tidak memiliki dosa. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Yang benar ialah bermakna ‘adil, dipercaya atas agama ini.[16]
Pantaslah demikian, karena mereka merupakan pewaris para nabi dan rasul, sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewarisi dinar dan tidak pula dirham, namun mewarisi ilmu. Sehingga siapa yang telah mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang sempurna.[17]
Sungguh aneh bila seseorang yang berusaha meluruskan kesalahan sekelompok kaum muslimin atau jama’ah, lalu dianggapnya sebagai penyebar fitnah, pemecah persatuan dan persaudaraan Islam. Bahkan lebih dari itu, mereka harus diteror dengan berbagai celaan dan makian serta tuduhan tanpa bukti dan keterangan jelas, seperti julukan, sebagai antek Amerika dan Yahudi, penjilat pemerintah, atau bodoh tidak mengenal fiqih waqi’ dan lain-lainnya. Sungguh suatu tuduhan yang keji dan tak berperi-kemanusiaan, apalagi sesuai dengan syari’at. Tuduhan yang tidak mungkin akan keluar dari seseorang yang mengerti hak pengemban ilmu. Layak dan pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada orang yang membongkar penyimpangan suatu jama’ah atau sekelompok kaum muslimin, agar semua sadar dan kembali bertaubat kepada Allah l ?! Sungguh tidak pantas dan teramat sangat tidak pantas.
Demikianlah sunatullah yang bakal menimpa penegak kebenaran, dari para rasul dan nabi, serta para pengikut mereka.
وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلاً
Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. [Al Ahzab:62].
Hujatan dan gelaran buruk telah menimpa para ulama Ahlu Sunnah sejak zaman dahulu. Imam Abu Utsman Ash Shabuni menjelaskan,“Saya melihat sikap ahli bid’ah dalam memberi gelaran-gelaran jelek kepada Ahlu Sunnah merupakan sikap meniru cara kaum musyrikin terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (kaum musyrikin) telah telah menggelari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berbagai julukan. Sebagian mereka menggelarinya sebagai tukang tukang sihir. Ada yang menggelarinya dengan gelar dukun, sya’ir, orang gila, kesurupan, pembual dan pendusta. Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jauh dan suci dari aib-aib tersebut. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, semata-mata hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang terpilih. Allah berfirman.
انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ اْلأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَيَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً
Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar). [Al Isra:48].
Demikian juga ahli bid’ah –semoga Allah Azza wa Jalla menghinakan mereka- telah memberikan gelaran yang banyak terhadap para ulama perawi hadits Nabi, orang yang menyampaikannya kepada orang lain dan pengikut sunnah Rasulullah n . Sebagian mereka menggelarinya dengan gelar hasyawiyah. Yang lainnya menjulukinya dengan gelaran musyabihah, nabitah, nashibah dan jabariyah. Padahal Ashhabul Hadits sendiri amatlah terjaga, jauh dan bersih dari aib celaan ini. Mereka tak lain adalah pengikut sunnah yang terang, pemilik peri kehidupan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, orang yang berjalan di jalan yang lurus dan di atas hujjah yang kokoh dan kuat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan taufiq kepada mereka untuk mengikuti kitab, wahyu dan kalamNya. Mereka mendapatkan taufiq juga dalam mengikuti Rasulullah atas seluruh haditsnya. Hadits-hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi perintah kepada umatnya untuk berbuat kemakrufan dalam perkataan dan perbuatan, berisi larangan dari seluruh kemungkaran.
Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala membantu mereka untuk berpegang teguh dan mengambil petunjuk kepada perilaku dan sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga melapangkan dada mereka untuk mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para imam syari’at dan para ulamanya. Maka, barangsiapa yang mencintai satu kaum, maka ia bersama mereka pada hari kiamat nanti, dengan dasar sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Sesorang itu bersama orang yang dicintainya.[18]
Hadits yang mulia ini juga menjelaskan bahaya tahrif yang dilakukan seseorang yang melampaui batas, kedustaan ahli batil dan ta’wil, orang yang bodoh terhadap agama ini. Sehingga pemurnian Islam dari perkara ini, merupakan satu kewajiban dan tugas syar’i bagi para pengemban ilmu. Fardhu kifayah yang harus dilaksanakan dengan adab dan kaidah-kaidah syari’at, sehingga dapat menghilangkan dosa dan kewajiban umat ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kepada para ulama dengan kebaikan yang berlipat ganda.
BAHAYA MENDIAMKAN KEMUNGKARAN DAN KEBID’AHAN
Mendiamkan kebid’ahan dan kemungkaran yang menyebar di masyarakat Islam akan menimbulkan berbagai kerusakan dan bahaya. Diantara kerusakan dan kemudharatan tersebut ialah:
1. Kehilangan unsur penting kehidupan dan kejayaan umat Islam, yaitu amar makruf nahi mungkar dan memerangi kebatilan.
2. Menyebabkan kemenangan ahli batil dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
3. Menyebarkan dan mengembangkan amalan atau orang yang menyelisihi kebenaran, baik dalam masalah i’tikad, pemikiran dan amalan.
4. Berkembang syubhat-syubhat yang merusak aqidah dan akhlak, serta hati umat Islam.
5. Melemahkan kekuatan iman dan i’tikad (aqidah) yang benar.
6. Menghilangkan hukuman syar’i terhadap ahli hawa dan ahli bid’ah serta ahli syahwat.
7. Menghilangkan pembatas antara bid’ah dan sunnah, kemakrufan dan kemungkaran. Juga menghilangkan ghirah membela kesuciam agama ini.
8. Menyebabkan orang yang mampu melakukan perbuatan ini berdosa; karena membantah dan membongkar kebid’ahan dan kesalahan tersebut merupakan satu kewajiban.
9. Merusak agama ini dengan tercampurnya kebenaran dan kebatilan.[19]
Melihat sebagian bahaya dan kerusakan yang timbul, tentunya kita harus berusaha melaksanakan hal ini. Tentu semuanya dengan adab dan di atas koridor syari’at. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan menegur kaum muslimin untuk berhati-hati dalam bersikap. Wallahu a’lam. (Disusun Oleh : Abu Aisyah)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
MENGURAI BENANG MERAH ANTARA AHLUL BID’AH DENGAN YAHUDI DAN NASHARA
Ihwal pembicaran tentang ahlul bid’ah, sebenarnya menarik kita untuk menelaah histori ideologi umat terdahulu, sehingga kita dapat gambaran mereka yang transparan dalam seluruh aspek kehidupan. Seseorang kadang secara tidak sadar, telah terbelenggu dalam atmosfer pemikiran atau karakter mereka. Karenanya, perlu sekali kita menengok sejenak perihal seluk beluk mereka agar tidak terkena getah busuknya. Kiranya, nasehat Khalifah Umar bin Khaththab perlu kita perhatikan. Beliau Radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan: “Aku pelajari kejahatan (keburukan) bukan untuk mengaplikasikannya, namun sebagai perisai diri. Barang siapa yang tidak mengetahui hakikat kejahatan, maka dia akan terjerumus di dalamnya”
Yahudi dan Nashara, dua umat terdahulu, telah membangun peradaban dan menguasai dunia. Sehingga sedikit banyak akan menjadi kiblat umat lain. Rasulullah telah mensiyalir, sebagian umatnya akan mengekor sunnah (gaya hidup) mereka dalam arti yang luas. Rasulullah bersabda: "Kalian benar-benar akan mengikut sunah (gaya hidup) umat sebelum kalian, sehasta demi hasta, sedepa demi sedepa, sampai kalau mereka memasuki lubang Dhob Kadal Gurun) pun, kalian akan mengikutinya. Para shahabat bertanya,” Siapa mereka Ya Rasulullah? Apakah Yahudi dan Nashara? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Siapa lagi kalau (bukan mereka)”
Termasuk karakter ahli bid’ah adalah talaqqi (mengambil/menerima) ilmu dari umat-umat terdahulu. Konsekwensinya, kita perlu membuka tabir jati diri ahli bid’ah, sejauh mana mereka mengadopsi konsep dari luar Islam. Pasalnya, ada benang merah antara golongan-golongan yang ada dalam Islam (Ahlul bid’ah) dengan mereka. Seperti yang disinyalir oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Mari kita lihat sebagian hasil kerja keras ulama dalam membeberkan kedok ahli bidah dalam tasyabuh mereka terhadap Yahudi dan Nashara. Semoga gambaran sekelumit tentang profil Ahli bidah dapat mengarahkan kita untuk lebih intensif dalam menelaah sirah Salafush Shalih. [1]
TASYABBUH FIRQAH AHLI BID’AH DENGAN YAHUDI [2]
KHAWARIJ
1. Firqah Khawarij mengklaim dirinya sebagai ahli syurga, melihat keshalihan dan kesuksesan mereka.. Selain komunitas mereka, hanyalah kumpulan orang-orang kafir. Klaim seperti ini bagian dari ciri khas Yahudi, yang membatasi kebenaran pada lingkaran mereka saja, sedangkan orang yang berseberangan dengan mereka berada di atas lini yang salah. Firman Allah: Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Orang-orang Nasrani tidak mempunyai pegangan" [Al-Baqarah :113].
Dalam ayat lain Allah berfirman: Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. [Al Maidah:18]
2. Khawarij tega memerangi lawan-lawannya yang tidak sepaham dengan pemikiran, aqidah dan ide-ide mereka. Demikian juga Yahudi, berusaha memberangus lawan-lawannya. Allah bercerita tentang mereka: Apakah setiap datang pada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai keinginanmu lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (diantara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang yang lain kalian bunuh” [Al Baqarah:87]
3. Bertindak ekstrim dalam beragama ,hukum dan vonis (kafir) terhadap individu, salah satu trademark aliran theologi ini. Praktek beragama model ini, produk asli Yahudi. Allah berfirman: “Wahai Ahli Kitab janganlah kalian melampau batas dalam agamamu dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuaIi yang benar..” [An Nisa:171]. Orang-orang Khawarij telah mendahului aturan Allah dalam memvonis banyak orang mukmin sebagai ahli neraka.
4. Khawarij meneladani Yahudi dalam menghalalkan harta para rivalnya. Ibnu Taimiyah menguraikan:” Khawarij, firqah pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, dengan pertimbangan perbuatan dosa atau tidak mengamini produk bid’ah mereka, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.” Beliau menambahkan:” Mereka (Khawarij) jauh lebih jahat terhadap umat Islam dari golongan lain. Tidak seorang pun yang lebih berbahaya terhadap umat Islam dari mereka, tidak pula Yahudi juga Nashara. Mereka begitu semangat untuk membunuhi umat Islam yang tidak sepakat dengan mereka, menghalalkan darah umat Islam dan harta serta pemusnahan terhadap para bocah muslimin, plus pengkafiran mereka. Tindakan itu dilakukan dengan atas nama agama, karena kebodohan yang keterlaluan dan bid’ah mereka yang menyesatkan”.[3]
5. Khawarij memiliki warna qaswah (keras) dan jafa’ (bengis) tanpa toleransi seperti karakter Yahudi. Allah berfirman:” Belumkah datang waktunya, bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras . Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik” [Al Hadid:16]
6. Khawarij memerangi umat Islam, tapi tidak mengusik orang-orang kafir. Ini merupakan hobi Yahudi tempo dulu dan sekarang. Allah berfirman : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al Kitab? Mereka percaya pada Jibt dan Thaghut dan mengatakan kepada orng-orang yang kafir (musyrik Mekkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari pada orang-orang yang beriman”. [An Nisa: 51]
Mereka bahkan saling bergandeng-tangan dengan orang-kafir untuk menyikat umat Islam. Ibnu Taimiyah menguraikan: ”Para sahabat dan ulama generasi selanjutnya sepakat (berijma’) untuk memerangi Khawarij. Mereka itu kaum bughat (penentang) yang memusuhi segenap kaum muslimin kecuali orang yang mengamini madzhab mereka. Mereka memancing peperangan dengan kaum muslimin. Kejahatan mereka tidak akan lenyap kecuali dengan jalan peperangan. Mereka lebih berbahaya bagi umat Islam dari para penyamun. Pasalnya, para perampok ambisinya hanya harta-benda. Kalau diberi, mereka tidak akan menyakiti. Dan sebagian orang saja yang dihadang. Adapun Khawarij, mereka memerangi umat agar berpaling dari Al Quran, Sunnah dan ijma’ Sahabat, dan selanjutnya berpartisipasi mendukung produk bid’ah mereka yang berlandaskan di atas takwil yang bathil dan pemahaman yang ngawur tentang Al Quran”.
7. Khawarij mentahrifkan (memelintir ) dalil-dalil dari makna sejatinya, senada dengan sikap Yahudi. Allah berfirman:” Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka merubahnya setelah mereka memahami, sedang mereka mengetahui” (Al Baqarah:75). Ibnu Abbas menggambarkan potret Khawarij dengan mengatakan:” Mereka mengimani ayat-ayat muhkam, (sayang) tergelincir pada ayat mutasyabih. Tidak ada yang mengetahui takwilnya (tafsirnya) kecuali Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya mengatakan: ”Kami mengimaninya”[5]
8. Khawarij tekun membaca Al Quran, namun ternyata mereka keluar dari Islam seperti menembusnya anak panah pada sasaran bidikan .. Para pemuka agama dan kaum cendikiawan Yahudi pun sangat mengetahui seluk beluk Taurat. Anehnya, mereka menyimpang dari rel kebenaran menuju jurang kesesatan. Allah berfirman tentang mereka:” Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka merubahnya setelah mereka memahami sedang mereka mengetahui” [Al Baqarah:75].
9. Sikap ghurur (silau melihat diri sendiri) dan congkak terhadap ulama sekalipun, sangat melekat pada jati diri Khawarij. Mereka meyakini bahwa kapasitas ilmiyah mereka melebihi Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan segenap shahabat lainnya.[6]
Berkaitan dengan ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan:” Akar kesesatan Khawarij, mereka meyakini bahwa para Imam (tokoh Islam, Ulama) dan kaum muslimin telah menanggalkan semangat keadilan dan sesat jalan.” [7]
Takabur terhadap orang lain bahkan kepada sosok yang lebih baik merupakan tabiat yang selalu tersemat pada Yahudi [8]. Allah berfirman:” Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami Al Kitab (Taurat) kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga” [Al Baqarah:78].
Sikap kelompok ini sangat kontras dengan budaya Salafus Shalih yang mendudukkan para ulama pada posisi yang tinggi. Sufyan bin ‘Uyainah menasehati: ”Rahmat Allah turun saat disebut orang-orang shalih.[9]
10. Khawarij populer dengan kelabilan pendirian dan perbedaan pandangan internal. Akibatnya, banyak terjadi percikan api perselisihan dan perpecahan di tubuh mereka seperti kondisi Yahudi yang telah dilukiskan Al Quran. Allah berfirman:”Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). [Al Baqarah:101]
Firman Allah: “Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan ) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas mereka itu siksa dari langit karena mereka berbuat fasik..” [Al Baqarah:59]
Juga firman Allah: “Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian niscaya kalian tergolong orang-orang yang merugi.” (Al Baqarah:64) Dan firman-Nya:”Apakah kalian beriman kepada sebagian Al Kitab dan mengingkari bagian yang lain”.[Al Baqarah : 85]
11. Firqah ini mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa saja terjerumus pada kesalahan, kezhaliman dan kesesatan. Yahudi sebagai panutan mereka, juga sangat nekat terhadap para Rasul dan Nabi, dengan memvonis sesat , memfasikkan dan membunuhi insan-insan terpilih tersebut. Allah berfirman:”Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran ) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh; maka beberapa orang (diantara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh.” [Al Baqarah:87]
Dan firman-Nya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka:” Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah, mereka berkata,”Kami hanya beriman kepada apa yang yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah:”Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman” [Al Baqarah : 91]
SYIAH
1. Pertautan (tasyabuh) antara Syiah dan Yahudi begitu tampak pada aspek sebab kemunculan Syiah dan pencetusnya. Adalah Abdullah bin Saba, sosok yahudi tulen yang mempropagandakan pemikirannya melalui berbagai keonaran agar laku di pasaran muslimin. Seperti keyakinan adanya raj’ah (reinkarnasi) dan wasiat Rasul untuk Ali. Gagasan-gagasan seperti ini tak pelak lagi, berakar dari aqidah Yahudi.[10]
2 Syiah meyakini adanya keserupaan antara Al Khaliq (Pencipta) dengan makhluk-Nya. Keyakinan ini juga sebelumnya ada pada Yahudi yang kenekadannya menghantarkan mereka melontarkan ucapan bahwa Allah sarat dengan naqaish (kekurangan/aib. Allah berfirman: “Orang-orang Yahudi berkata:” Tangan Allah terbelenggu” .(Ali Imran : 64). Juga firman-Nya: “ Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnyaa Allah itu miskin, sedangkan kita kaya-raya” [Ali Imran: 181].
Ucapan-ucapan serupa, mudah kita dapati dalam banyak Israiliyat. [11]
3. Agama yang bersentral di Iran ini, menegaskan bahwa api neraka tidak akan menyentuh mereka kecuali sebentar saja.. Ini juga yang dibanggakan Yahudi. Allah berfirman:”Mereka mengaku:”Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali sebentar saja” [Ali Imran:24]
Bahkan bukan hanya sampai di sini saja, mereka juga mengkafirkan para lawan-lawannya dan memvonis mereka sebagai penghuni neraka.“. Ibnu Taimiyah mengungkapkan:” Dan yang lebih mengerikan lagi, orang-orang yang mengkafirkan dan menganggap kaum muslimin najis layaknya orang kafir , seperti yang terjadi pada kebanyakan ahli bidah dari kalangan Rafidhah (Syiah), Khawarij dan lain-lain…Karakter seperti ini kerap mewarnai kelompok yang latah (meniru ) Yahudi. [12]
4. Syiah juga meyakini adanya tanasukh (perpindahan roh) sebagaimana yang diyakini oleh Yahudi. Mereka menetapkannya pada tulisan-tulisan mereka.
5. Para pemeluk ideology ini sangat berlebihan dalam mengagungkan dan menghormati para pemuka agama (imam) mereka. Demikian pula Yahudi. Para nabi dan ulamanya mendapatkan penghormatan yang tidak terukur dari umat. Allah berfirman:”Orang-orang yahudi berkata:”Uzair putra Allah”, dan orang nasrani berkata:”Al Masih putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang dahulu. Allah melaknati mereka ,bagaimana mereka bisa berpaling. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allah” [At Taubah:30-31]
Juga firman-Nya:”Wahai Ahli kitab janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” [An Nisa:171]
6. Syiah, sebuah firqah yang paling menggandrungi dusta. Mereka memproduksi banyak hadits-hadits palsu dengan mencatut nama besar Rasulullah. Yahudi sebagai nenek moyang mereka, juga melakukan hal yang sama melalui kisah Israiliyat yang dusta.
7. Salah satu doktrin mereka, orang Syiah harus masuk syurga karena besarnya mahabbah (kecintaan) mereka terhadap Ali dan para Imam. Rahasianya, hakikat iman menurut versi mereka adalah mempercayai (mengimani) dan mencintai para imam mereka.. Sandaran mereka firman Allah: Katakanlah hai orang-orang mukmin, Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak-cucunya dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada yang kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)” [Al-Baqarah:136-137]
Mereka memlintir makna ayat tersebut dengan iman kepada para imam. Sebab itulah, mereka mengklaim:”Sesungguhnya iman tidak memudar dengan sayyiah (dosa), sebaliknya, kekufuran mementahkan segala kebaikan (hasanah). Iman yang sejati tercermin pada kecintaan dan pengenalan terhadap para Imam. [13]
Jadi, kecintaan yang palsu itu mereka jadikan tangga untuk menggapai syurga. Artinya, hunian syurga telah mereka kuasai dengan seenak perutnya sendiri.. Omongan ini tidak berbeda dengan lontaran orang-orang Yahudi. Allah berfirman tentang ucapan mereka:” Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” [Al Maidah:18].
8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menguraikan sebagian kesesatan dan tasyabbuh mereka terhadap Yahudi. Ungkap beliau rahimahullah:” Indikasinya, keonaran Syiah itu menyerupai perbuatan Yahudi. Yahudi berkata:” Kekuasaan tidak layak kecuali hanya untuk keturunan Daud. Syiah sendiri mengatakan:”Imamah (kekhalifahan) tidak layak kecuali pada keturunan Ali saja”.
Yahudi menyatakan:”Tidak ada jihad sampai munculnya masih dajjal dan turun sebilah pedang dari langit”. Di satu sisi Syiah menegaskan :”Tidak berlaku jihad sampai kedatangan Al Mahdi dan terdengarnya suara panggilan dari langit. Yahudi mengakhirkan shalat , demikain juga kebiasaan Syiah. Praktek sisi kehidupan yang lain, Yahudi menghapuskan masa iddah bagi wanita dan mengtahrif kitab sucinya, juga berpendapat bahwa shalat wajib berjumlah 50 waktu, tidak mengucapkan salam kepada kaum muslimin,. menghalalkan harta seluruh umat manusia. Semua ini diadopi dengan cantik oleh Syiah. Tidak ketinggalan pula . Yahudi memusuhi sekali Malaikat Jibril seperti kebencian Syiah terhadap malaikat yang sama karena dianggap salah dalam mentransfer wahyu kepada Rasulullah”.[14]
QADARIAH MU'TAZILAH.
1. Ja’d bin Dirham orang yang pertama kali melontarkan pendapat yang menafikan (menelanjangi) Allah dari segala sifat-Nya., Allah tidak berada di atas Arsy, makna istiwa adalah isti’la’ (mengusai), Allah tidak berbicara. Orang tersebut adalah pembina Jahm bin Shafwan, pendiri firqah Jahmiyyah yang memiliki keyakinan bahwa Allah ada di semua tempat dengan dzat-Nya. Aqidah yang sesat ini mengakar dari sosok Yahudi yang bernama Labid bin Al A’sham, orang yang pernah mengguna-gunai Rasulullah. [15]
2. Bisy Al Mirrisi, salah satu pentolan Mu”tazilah, sejatinya seorang yahudi yang bersembunyi dengan topeng Mu”tazilah. [16]
3. Qadariah menafikan sifat al khalqu (penciptaan) dan iradah (kehendak) dari Allah . Ini sama dengan tingkah Yahudi yang mengatakan kebaikan dan kejahatan diluar jangkauan takdir Allah.[17]
4. Hudzailiyah, salah satu firqah bagian dari Qadariah menyatakan Allah tidak berbeda dengan makhluk-Nya,, penghuni syurga tidak punya daya untuk bergerak dan Allah juga tidak mampu untuk menggerakkan mereka. Mereka hanya akan menjadi gundukan barang beku yang tak bernyawa. Pernyataan ini juga menjadi keseharian pembicaraan orang Yahudi [18]
5. Mu’tazilah memerangi orang-orang yang tidak seirama dengan cara pandang mereka seperti halnya Yahudi
6. Mu'tazilah juga mentahrifkan Al Quran seperti halnya sikap Yahudi terhadap kitab suci mereka.
7. Mu’tazilah menyerupakan iradah Allah dengan iradah makhluk-Nya, kalam-Nya dengan ucapan makhluk seperti kelakuan Yahudi
8. Qadariyah termasuk aliran yang menafikan (ta’thil) sifat-sifat Allah dari dzat Allah. Aqidah ini muncu dari keyakinan persamaan Khalik (Pencipta) dengan ciptaan-Nya Ibnu Taimiyah mendudukkan: Dasar para penghapus sifat Allah baik dari kalangan Jahmiyyah maupun Qadariyyah, image mereka yang menyifati Allah dengan sifat yang berada pada orang lain.
MURJIAH
1. Para pengikut murjiah yang ekstrim mengatakan ”iman tidak akan terkikis oleh maksiat, sebagaimana ketaatan tidak akan bermanfaat di hadapan kekufuran” Sebab itu, mereka sangat meremehkan arti dosa dan maksiat. Yahudi pun demikian, mereka melanggar berbagai kemungkaran dan dosa dengan ringan tanpa beban. Allah berfirman: ” Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu”. [Al Maidah:62]
Juga dalam ayat yang lain: ”Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”. [Al Maidah:78]
2. Karamiah, sebuah sempalan dari Murjiah telah memalsukan banyak hadits seperti yang dilakukan Yahudi. Ditambah lagi, tokoh-tokoh kelompok ini juga mensosialisasikan aqidah tajsim (pembendaan) Tuhan seperti yang dilakukan Yahudi. [19]
3. Murjiah sangat menonjolkan aspek raja’ (pengharapan) dalam beribadah dengan mengesampingakan aspek khauf (rasa takut, kuatir ) . Sikap pengharapan yang berlebihan ini membawa mereka menjadi sangat optimis menjadi penghuni syurga. Model seperti ini juga diklaim oleh Yahudi. Allah berfirman:” “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya” [Al Maidah:18].
Juga firman-Nya: ”Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung”. [Ali Imran:24]
4. Murjiah juga mendaulatkan diri sebagai makhluk yang paling berkelas di sisi Allah disebabkan anggapan mereka, kadar keimanan stabil, tidak bertambah juga tidak mengempis. Menurut mereka, derajat keimanan kaum mukminin berada dalam level yang sama. Pendeknya, keimanan mereka satu kelas dengan kualitas keimanan para rasul dan malaikat . Jadi, mereka menyerupai perilaku Yahudi yang menganggap diri sebagai makhluk termulia. Firman Allah:” :” Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.. Katakanlah: Mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian” [Al Maidah:18].
JAHMIAH
1. Satu dari pendapat Jahmiah yang paling berbahaya adalah pemikiran Jabriah yang mengatakan bahwa manusia tidak punya kehendak sama sekali, bagai sebuah bulu yang diombang-ambingkan oleh tiupan angin. Ini juga kepercayaan Yahudi dulu dan sekarang. Beberapa ideologi modern seperti komunis juga menafikan keberadaan kehendak (iradah) dari manusia. [21]
2. Jahmiah berdalih dengan suratan takdir, atas kesesatan dan penyimpangan yang mereka lakukan.. Kata mereka:” Allah telah mengunci hati kami sehingga cahaya hidayah tidak bisa menembus relungnya.” Ini merupakan alasan kaum musyrikin dan ahli kitab , Yahudi dan Nashara yang tidak mau menerima kebenaran. Allah berfirman tentang mereka: ”Hati-hati kami terkunci” [An Nisa’:155]
Maksudnya, tidak bisa memahami dan menangkapnya. Allah berfirman: Oraang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: Jika Allah menghendaki , niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatupun.”. Demikianlah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami…” [Al-An’am:148].
Umat sebelum mereka adalah Yahudi dan Nashara. Jadi, Jahmiah menabrakkan syariat Allah dengan takdir. Akibatnya mereka mencampakkan syiar amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sehingga mereka terjebak dalam tasyabuh terhadap Yahudi. Ibnu Taimiyah menyimpulkan:” Muara dari tindak-tanduk mereka menuju ta’thil (penghapusan) syariat dan semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar.[22]
3. Ta’thil,salah satu inti ajaran Jahmiah diadopsi dari Yahudi
4. Jahmiah mengatakan Alquran itu makhluk sehingga menyamakan Pencipta dengan makhluknya seperti ulah Yahudi.
TASYABBUH AHLU BID’AH DENGAN NASHARA
Firqah-firqah yang menyimpang dari garis al haq juga telah banyak mengadopsi sebagian prinsip alirannya dari ajaran agama Nashara. Oleh karena itu terjadi beberapa kesamaan antara mereka dengan agama nashara. Penjelasannya sebagai berikut:
SYI’AH
1. Syi’ah mengatakan bahwa ajaran agama di tangan para imam. Secara penuh [23], label halal ataupun haram merupakan hak prerogatif para imam. Jadi agama tidak lain adalah produk mereka. Perlakuan seperti ini merupakan sikap kaum Nashara terhadap para pemuka agama mereka. Allah berfirman, yang artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al Masih Ibnu Maryam. [At Taubah:31].
Rasulullah bersabda : Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan seperti penghormatan Nashara terhadap Isa Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ”(Muhammad) seorang hamba Allah dan utusanNya.” [HR Bukhari, Kitab Al Anbiya, Bab Qauliallah (6/365)]
2. Kuburan para wali dan orang shalih berubah menjadi tempat peribadahan selain kepada Allah. Ini berangkat dari keyakinan bahwa para imam mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, menghidupkan orang mati, dan perkara lain yang berkaitan dengan rububiyyah. Orang-orang Nashara pun sebelummya juga melakukan hal yang sama. Rasul bersabda: Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarangnya.[HR Muslim, Kitabul Masajid, Bab Nahyu ‘An Binail Masajid ‘Alal Kubur (5/13)]
3. Syi’ah menyembah dan mempertuhankan Ali. Kaum Nashara juga demikian, yaitu mengkultuskan Nabi ‘Isa sampai pada maqam Uluhiyah.[Ar Raddu ‘Ala Rafidhah, hlm. 46]
4. Pemeluk Syi’ah tetap menyetubuhi wanitanya melalui dubur walau dalam keadaan menstruasi seperti orang-orang Nashara.[Minhajus Sunnah (1/72)]
5. Syi’ah menafsirkan kalimatullah dalam ayat "Tidak ada perubahan pada kalimat-kalimat Allah" (Yunus: 64) dengan para imam mereka [24]. Nashara juga mengangkat Nabi ‘Isa sebagai kalimatullah. Padahal, maksud dari kalimatullah di situ, bahwa perumpamaan penciptaan Nabi Isa itu seperti pada diri penciptaan Nabi Adam yaitu dari tanah dengan “Kun”. Jadi, sebenarnya Isa juga bagian dari makhluk Allah dengan kalimatNya. Dengan ini, menjadi jelaslah dalam masalah ini bahwa Syi’ah mengikuti Nashara.
AL QADARIYAH MU'TAZILAH
1. Kepercayaan mereka bahwa seorang hamba memiliki hak mutlak untuk bertindak karena dialah pencipta perbuatannya. Teori ini, mereka ambil dari semangat kebebasan yang diprogramkan agama Nashara. Bahkan seperti yang kita ketahui, bahwa pencetus ide pengingkaran terhadap taqdir adalah seorang Nasrani bernama Sosan.[Al Farqu Bainal Firaq, hlm. 4-15]
2. Firqah ini tumbuh dan berkembang di atas pemikiran filsafat Kristen dan Yahudi. Kronologisnya, ketika Khalifah Al Makmun mengambil perjanjian dengan kaum Nashara, beliau meminta referensi-referensi buku Yunani dari mereka. Orang Nashara tahu dan cerdik dengan mengiriman buku-buku tersebut, karena mereka yakin bahwa kandungan ilmunya akan memporak-porandakan keyakinan kaum muslimin atau memicu perbedaan di kalangan para ulama. Mu’tazilah pun mempersenjatai diri dengan ilmu manthiq dan ilmu kalam, mengikuti para leluhur mereka Yahudi dan Nashara, dengan mencampakkan Sunnah Nabi mereka.[Ashawaiq Mursalah (1/230)]
3. Nidhamiyah, salah satu sempalan dari Qadariyah mempunyai doktrin bahwa tuhan dan pencipta itu ada dua. Yang lama yaitu Allah dan yang baru yaitu Isa Al Masih. Jadi, menurut mereka, Nabi Isa memiliki kekuasaan rububiyah. Perkataan ini tidak berbeda dengan ucapan dan keyakinan kaum Nashara yang menuhankan Isa Al Masih dan yang akan mengambil alih hisab amalan manusia di akhirat kelak. Mereka menafsiran : “Dan datanglah Tuhanmu dan para malaikat berbaris-baris" [Al Fajr:22]
Menurut mereka, Tuhanmu dalam ayat tersebut adalah Nabi Nabi Isa Al Masih. Hadits Nabi tentang ru’yatullah juga mereka tarik kesimpulan sebagai Isa Al Masih. [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab Itsbat Rukyatul Mukminin Fil Akhirat Lirabbahum Subhanah (3/17)]
MURJI’AH
1. Para tokoh besar Murji’ah mengeluarkan statemen bahwa tidak ada satu pun dari Ahlul Qiblah yang terjerumus ke neraka, meskipun bermandikan dosa besar. Nashara, panutan mereka, sebelumnya juga mengklaim demikian. Allah berfirman, yang artinya: Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata,”Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi dan Nashara.” [Al Baqarah : 111]
2. Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua di antara firqoh yang menerima arus pemikiran Murji’ah, sudah biasa melakukan tawasul dengan kuburan dan tempat-tempat keramat, seraya membumbuinya dengan aktivitas yang terlarang. Misalnya dengan berdo’a, sujud bernadzar dan berkurban selain untuk Allah. Pun ditambah dengan acara istighatsah atau isti’anah (minta pertolongan) kepada para wali yang masih hidup ataupun yang sudah terkubur ketika kehidupan mereka terjepit dengan kesengsaraan dan kesulitan. Tidak lupa mereka membangun masjid di atas pemakaman. Sehinga mereka terjebak meniru kaum Nashara.
3. Orang sufi dari kalangan Asy’ariyah meyakini sekian banyak doktrin agama Nasrani, seperti wihdatul wujud, wilayah dan ‘ishmah (dua hal yang berkaitan dengan kewalian dan keterpeliharan mereka dari dosa). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa motivasi kunjungan mereka ke pemakaman adalah memohon pertolongan dari ahli kubur. Ibnu Taimiyah berkata: ”Mereka itu, kalau mengerjakan shalat wajib di rumah, hati mereka melayang, lalai. Membaca Al Quran tanpa penghayatan dan khusyu’. Namun kalau sedang mengunjungi kuburan orang yang di (dihormati), begitu mudah khusyu; dan menangis, pasrah dan tunduk.” [Al Istighatsah Fi Raddi ‘Alal Bakri (1/330-333]
JAHMIYAH
Jahmiyah dan arus pemikirannya bertumpu pada ajaran Nashara. Seperti yang diuraikan Imam Ahmad ketika Jahm, pendiri firqah Jahmiyah bertemu dengan suku Sumaniyah. Dan menjadikan pemikiran mereka yang nota bene beragama Nashara, sebagai pijakan jalan pikirannya dan menyebarkannya kepada orang lain. [Ar Raddu ‘Alal Jahmiyah Wa Zanadiqah, hlm. 26-28]
Demikian paparan ringkas perihal hubungan “emosional” yang terjalin antara ahli bid’ah dengan dua agama sebelumnya yang sudah banyak diamandemen oleh para tokoh agamanya. Seorang muslim hendaknya berdiri dengan izzah yang kokoh, bangga dengan nilai-nilai yang ada dalam agamanya, tidak perlu menoleh ke kanan kiri untuk mengais tambahan, yang sebenarnya akan menjadi blunder bagi dirinya di dunia akhirat. Dalam sebuah hadits, Nabi mewanti-wanti: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia merupakan bagian dari kaum tersebut” Wallahu a’lam.
(Tulisan ini merupakan terjemahan bebas Muhammad ‘Ashim, yang diangkat dari kitab Tanaqudhu Ahlil Ahwa` Wa Bida', karya Dr. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad bin Mukhtar, Dosen Fakultas Tarbiyah Putri di Riyadh. Kitab ini diterbitkan oleh Maktabah Ar Rusyd, Cetakan I, Tahun 1421H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
AKHIR KESUDAHAN AHLI BID’AH
Oleh
Syaikh Muhammad Musa An-Nasr
Abu Musa Al As’ari Radhiyallahu 'anhu memasuki masjid Kufah, lalu didapatinya di masjid tersebut terdapat sejumlah orang membentuk halaqah-halaqah (duduk berkeliling). Pada setiap halaqah terdapat seorang Syaikh, dan didepan mereka ada tumpukan kerikil, lalu Syaikh tersebut menyuruh mereka (yang duduk di halaqah) : “Bertasbihlah (ucapkan subhanallah) seratus kali!”, lalu mereka pun bertasbih (menghitung) dengan kerikil tersebut. Lalu Syaikh itu berkata kepada mereka lagi : “Bertahmidlah (ucapkan alhamdulillah) seratus kali!” dan demikianlah seterusnya ……
Maka Abu Musa Radhiyallahu 'anhu mengingkari hal itu dalam hatinya dan ia tidak mengingkari dengan lisannya. Hanya saja ia bersegera pergi dengan berlari kecil menuju rumah Abdullah bin Mas’ud, lalu iapun mengucapkan salam kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin mas’ud pun membalas salamnya. Berkatalah Abu Musa kepada Abu Mas’ud : “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh baru saja saya memasuki masjid, lalu aku melihat sesuatu yang aku mengingkarinya, demi Allah tidaklah saya melihat melainkan kebaikan. Lalu Abu Musa menceritakan keadaan halaqah dzikir tersebut.
Maka berkatalah Abu Mas’ud kepada Abu Musa : “Apakah engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka? Dan engkau memberi jaminan mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang sedikitpun?!” Abu Musa pun menjawab : “ Aku tidak memerintahkan suatu apapun kepada mereka”. Berkatalah Abu Mas’ud : “Mari kita pergi menuju mereka”.
Lalu Abu Mas’ud mengucapkan salam kepada mereka. Dan mereka membalas salamnya. Berkatalah Ibnu Mas’ud :“Perbuatan apa yang aku lihat kalian melakukannya ini wahai Umat Muhammad?” mereka menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil, dan takbir”. Maka berkatalah Abu Mas’ud : “Alangkah cepatnya kalian binasa wahai Umat Muhammad, (padahal) para sahabat masih banyak yang hidup, dan ini pakaiannya belum rusak sama sekali, dan ini bejananya belum pecah, ataukah kalian ingin berada diatas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama Muhammad ? ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan? Mereka pun menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah tidaklah kami menginginkan melainkan kebaikan”. Abu Mas’ud pun berkata :
"Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.
Berkata Amru bin Salamah : “Sungguh aku telah melihat umumnya mereka yang mengadakan majelis dzikir itu memerangi kita pada hari perang “An Nahrawan” bersama kaum Khawarij”. (Riwayat Darimi dengan sanad shahih)
Aku (Syaikh Musa Nasr) berkata : “Firasat Ibnu Mas’ud terhadap mereka (yaitu ahli bid’ah yang mengadakan halaqah dzikir) benar, dimana ahli bid’ah itu bergabung bersama kaum khawarij disebabkan “terus menerusnya” mereka dalam kebid’ahan. Dan inilah akhir kesudahan seseorang yang “terus menerus” dalam kebid’ahannya, serta menyelisihi para sahabat nabi.
Akan tetapi mungkin seseorang di zaman kita berkata : “Apakah yang diingkari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu? Apakah berdzikir kepada Allah itu bid’ah?!! Kita katakan : “Maha suci Allah, jika dikatakan dzikir kepada-Nya adalah bid’ah, khususnya jika dzikir itu adalah dzikir yang disyariatkan, tetapi yang bid’ah hanyalah cara (berdzikir) dimana mereka berkumpul padanya, serta cara yang mereka lakukan dalam berdzikir kepada Allah, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahanbat beliau tidak pernah mengamalkannya. Dan khawarij yang dicela oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang mereka :
“Jika aku menjumpai mereka, niscaya benar-benar akan aku bunuh mereka sebagaimana pembunuhan terhadap kaum Ad” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Sesungguhnya hanyalah Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam mengancam mereka dikarenakan perbuatan mereka yang bid’ah dan mungkar, yaitu : mereka mengkafirkan kaum muslimin lantaran perbuatan maksiyat, dan mereka menganggap kaum muslimin masuk neraka kekal (lantaran perbuatan maksiat) padahal (yang benar) pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka. Sebagaimana juga mereka mewajibkan bagi perempuan yang haid untuk mengganti shalat (yang ia tinggalkan ketika haid) sebagaimana ia mengganti puasa (Ramadhan jika ia haid pada waktu itu).
Maka mereka berbuat melampaui batas dalam agama mereka, dan mereka beramal dengan sangat membebani diri, bahkan mereka (yaitu khawari) telah khuruj (keluar) dari ketaatan kepada anak paman Rasulullah, menantu beliau Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu (ketika menjadi khalifah) bahkan mereka bunuh Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu secara dhalim dan kedustaan.
Dan Nabi kita Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya”
Sedangkan lisan keadaan ahli bid’ah berkata : “Ini adalah agama Muhammad bin Abdullah”. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik, dimana ia berkata :
“Barangsapa berbuat suatu kebid’ahan dalam agama Islam yang ia pandang baik maka sungguh ia menyangka bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Al Maidah 3). Maka apa saja yang pada waktu itu bukan agama tidaklah pada hari ini dianggap sebagai agama, dan tidak akan baik akhir umat ini melainkan dengan apa yang baik pada umat yang awal (para sahabat).”
Pelaku bid’ah diharamkan dari minum seteguk air yang nikmat dari tangannya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan dari telaganya yang mana telaga itu lebih putih dari salju dan lebih manis daripada madu.
Maka sungguh telah benar dari hadits Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata : Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Artinya : Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Maka demikianlah kesudahan akhir ahli bid’ah baik pada masa lampau atau masa sekarang, (Semoga Allah melindungi kita dari akhir kematiaan buruk seperti mereka). Maka apakah sadar mereka para ahli bid’ah pada setiap zaman dan tempat pada buruknya tempat kembali mereka? Maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat “nasuha” (taubat yang murni), kita mengharapkan bagi mereka yang demikian itu.
Dan hanya Allah saja Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan untuk ittiba’ (mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya).
[Diterjemahkan dari majalah al Ashalah edisi 27 halaman 17-18]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi Th. II/No. 07 Diterbitkan Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
SEBAB-SEBAB BID’AH
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid’ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali kepada tiga hal. [1]
Pertama : Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan Cara Pemahamannya
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.
Sesungguhnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid’ah adalah karena kebodohan tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.
Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya, bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan dalam syari’at.
Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.
Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku” [Hadits Riwayat Muslim]
Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan, dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan dalil disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin, sedangkan orang yang adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan “ Jika kamu mendengar” mencakup kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!
Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.
Sesungguhnya ulama qurun awal berijma (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman Al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar’i.
Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas padahal terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’ah.
Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqih niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah adzan. Padahal pendapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan, sedangkan hadits harus di dahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “Jika kamu mendengar adzan … (sampai akhir hadits)” menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar adzan.
Kedua : Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Menetapkan Hukum
Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil sayr’i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan hujjah.
Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at dalam menetapkan dalil.
Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus. FirmanNya.
“Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah seikitpun?” [Al-Qashash : 50]
Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.
Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang paling besar dosanya di sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah merubah syari’at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.
Ketiga : Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur Hukum Syar’i.
Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda menurut para peniliti.
Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, menusia harus merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang Dia ciptakan.
Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk mejelaskan kepada manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.
Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas telah tercakup semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.
“Artinya : Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang bodoh” [2]
Ungkapan “ perubahan orang-orang yang ekstrim” mengisyaratkan kepada sikap fanatik dan belebihan. Sedang ungkapan “ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan “ mengisyaratkan kepada yang menganggap baik mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang bodoh” mengisyaratkan kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari sumber-sumbernya.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Kitab Al-Bid’ah, karya Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36
[2] .Hadits hasan Lihat Isryad As-Sari I/4 oleh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan : 70
ANTARA BID’AH DAN AHLU BID’AH
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Setiap yang memahami kajian yang lalu, ia mesti mengetahui dengan jelas perbedaan antar perkataan kami tentang suatu masalah yang baru, yaitu “ Ini Bid’ah”, dan hukum kami kepada perlakunya bahwa dia “Ahlu Bid’ah”!
Sebab hukum atas amal yang baru bahwa dia sebagai bid’ah, adalah hukum yang berlaku sesuai kaidah-kaidah ilmiah dan ketentuan-ketentuan ilmu ushul, yang dari mempelajari dan mengaplikasikannya muncul hukum tersebut dengan jelas dan nyata.
Adapun pelaku bid’ah tersebut maka boleh jadi dia seorang mujtahid sebagaimana telah disebutkan. Maka ijtihad seperti ini meskipun salah tidak dapat dikatakan pelakunya itu sebagai ahli bid’ah. Dan boleh jadi pelaku bid’ah itu orang yang bodoh maka dinafikan darinya –karena kebodohannya- cap sebagai ahlu bid’ah, namun dia berdosa karena melalaikannya mencari ilmu, kecuali jika Allah berkehendak.
Boleh jadi juga terdapat kendala-kendala yang menghalangi orang yang jatuh kepada bid’ah sebagai ahlu bid’ah.
Adapun orang yang terus menerus dalam kebid’ahan setelah tampak kebenaran baginya karena dia mengikuti nenek moyang dan berpedoman kepada tradisi, maka orang yang seperti ini layak sepenuhnya untuk dicap sebagai “ahlu bid’ah” karena keberpalingan dan penolakannya dari kebenaran
Kajian ini, jika dipahami dengan cermat dapat meng-clear-kan banyak kesalah pahaman yang diarahkan kepada para penyeru Sunnah oleh orang-orang yang memusuhinya, bahwa para penyeru Sunnah dianggap menggelari para imam sebagaii ahli bid’ah dan menyatakan sesat kepada “pilihan umat”.
Demikianlah mereka berkata! Sedangkan mereka selalu berpaling dari kebenaran, mengikuti hawa nafsu, dan bodoh terhadap kajian-kajian ilmu!
Adapun pendapat yang benar dan tidak dapat dipungkiri adalah apa yang telah kami tetapkan dalam pasal ini dan pasal sebelumnya [1] dan segala puji bagi Allah.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Dengannya tampak pendapat yang benar –isnya Allah- dalam makalah yang disampaikan sebagian penuntut ilmu dalam seminar dengan judul ‘Silah At-Tasyhir bil Bid’ah”. Dia memaparkan para penyeru Sunnah dan penerapan mereka terhadap masalah bid’ah, dan barangkali komentar ini merupakan jawaban yang jelas dari saya kepada sebagian penanya tentang pendapat saya dan sanggahan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seminar tersebut, dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebenaran.
CARA AHLUL BID’AH BERARGUMENTASI
Peringkas
Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf
Pendahuluan
Setiap (kelompok) yang menyimpang dari Sunnah namun mendakwahkan dirinya menerapkan Sunnah, mesti akan takalluf (memaksakan diri) mencari-cari dalil untuk membenarkan tindakannya (penyimpangan) mereka. Karena, kalau hal itu tidak mereka lakukan, (perbuatan mereka) mengesampingkan Sunnah itu sendiri telah membantah dakwaan mereka.
Setiap pelaku bid’ah dari kalangan umat Islam ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah -berbeda dengan firqah-firqah lain yang menyelisihinya- hanya saja mereka belum sampai kepada derajat memahami tentang Sunnah secara utuh. Hal itu mungkin karena tidak dalamnya pemahaman mereka tentang perkataan bahasa arab dan kurang paham maksud-maksud yang dikandung Sunnah. Atau, mungkin juga karena tidak dalamnya pemahaman mereka dalam hal pengetahuan kaidah-kaidah ushul sebagai landasan ditetapkannya hukum-hukum syari’at, atau mungkin pula karena dua hal tersebut sekaligus.
Tentang golongan kedua, yaitu tidak dalam pengetahuannya tentang kaidah-kaidah ushul , yang condong dan menyimpang dari kebenaran, kita mendapatkan dua sifat pada mereka berdasarkan ayat Al-Qur’an.
Sifat Pertama, yaitu sifat condong dan menyimpang, yaitu pada firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan (dari kebenaran).” [Ali Imran : 7]
Condong dalam ayat di atas maknanya adalah menyimpang dari jalan yang lurus; dan hal itu merupakan bentuk celaan terhadap mereka.
Sifat Kedua, tidak mendalamnya ilmu mereka (tentang kaidah-kaidah ushul). Menurutmu, bagaimana jadinya bila dia mengikuti (suatu dalil) hanya karena ingin mencari fitnah? Kita sering melihat orang-orang bodoh berhujjah untuk (membela) diri mereka dengan dalil-dalil yang batil; atau dalil-dalil yang shahih, (tapi hanya sepotong-sepotong); sebagian dalil dilirik dan dalil-dalil yang lain dibuang, baik dalam urusan pokok maupun cabang, baik yang mendukung pendapatnya ataupun yang bertentangan dengannya.
Banyak di antara mereka yang mengaku memiliki ilmu, ternyata mengambil cara ini sebagai jalannya. Dia pun mungkin saja memberikan fatwa sesuai dengan yang dikehendaki dalil dan mengamalkan apa yang telah difatwakannya itu dan tujuan (tertentu). Cara seperti ini bukan merupakan kebiasaan orang-orang yang mendalam ilmunya. Cara itu tidak lain merupakan kebiasaan orang-orang yang tergesa-gesa, yang menurut dakwaannya hal itu adalah menjadi solusi.
Dari ayat yang telah disebutkan di muka kita dapatkan bahwa sifat menyimpang dari kebenaran tidak akan terjadi pada seorang yang mendalam ilmunya. Walaupun tidak semuanya begitu, akan tetapi seseorang yang mendalam ilmunya tidak akan menyimpang dari kebenaran dengan sengaja.
Jalan Yang ditempuh Orang Yang Menyimpang
Sesungguhnya orang yang mendalam ilmunya memiliki jalan yang mereka tempuh dalam mengikuti kebenaran, dan orang-orang yang menyimpang mempunyai jalan lain yang berbeda.
Kita perlu mengetahui jalan-jalan yang ditempuh oleh mereka (orang-orang yang menyimpang) untuk kita jauhi. Mari kita perhatikan sebuah ayat yang menyebutkan bagaimana jalan mereka dan bagaimana jalan orang-orang yang mendalam ilmunya. Allah Ta’ala berfirman:
“ Artinya : Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lainnya karena itu akan mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.” [Al-An’am: 153]
Ayat di atas menyebutkan bahwa jalan kebenaran hanyalah satu, sedangkan kebatilan memiliki jalan-jalan yang banyak; tidak hanya satu, dan tidak terbatas jumlahnya.
Kemudian mari kita perhatikan pula sebuah hadist yang menafsirkan ayat tersebut yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
“ Artinya : (Suatu Ketika) di hadapan kami Rasulullah menggambarkan satu garis,lalu berkata, ‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggambarkan garis-garis lain yang banyak di kanan dan kiri garis tadi, lalu berkata, ‘Ini adalah jalan-jalan lain (selain jalan Allah), yang pada setiap jalan tersebut ada syaitan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membacakan ayat ini.” [Hadist Shahih]
Dalam hadist di atas disebutkan adanya garis(maksudnya kelompok-kelompok sesat) yang banyak, beragam dan tidak terbatas jumlahnya. Secara naqli kita tidak boleh membatasi jumlahnya; begitu juga secara aqli ataupun istiqra’ (penelitian). Akan tetapi akan kita sebutkan beberapa patokan secara umum untuk dijadikan pedoman melihat kelompok-kelompok tersebut, yaitu:
[1]. Mereka Bersandar Kepada Hadist-Hadist Lemah
Hadist-hadist yang lemah sandnya besar kemungkinan tidak diucapkan pleh Nabi. Jadi tidak mungkin suatu hukum didasarkan kepada hadist-hadist seperti itu. Bagaimana bila hadist-hadist yang mereka jadikan hujjah telah dikenal dusta?
[2]. Mereka Menolak Hadist-Hadist (Shahih), Yang Tidak Sejalan Dengan Tujuan Dan Madzhab Mereka.
Mereka mengatakan bahwa (hadist-hadist) seperti itu menyelisihi akal, tidak mengacu kepada maksud suatu dalil, maka harus ditolak. Dengan berdalih seperti itu mereka mengingkari siksa kubur, ash-shirath (jembatan), mizan (timbangan amal), dan ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat nanti. Mereka juga menolak hadist tentang ‘lalat’ dan (perintah untuk) membunuhnya (yaitu dengan membenamkan ke dalam minuman yang dimasukinya. pent). Mereka tidak mempercayai bahwa pada salah satu sayap lalat terkandung penyakit sedangkan pada sayap satunya terkandung obat penawarnya, dimana Rasulullah lebih dahulu menyebutkan sisi sayap yang terkandung penyakit (Lihat Kitab Shahih Bukhari (Hadist no.3142) dan kitab lainnya. Pent). Dan masih banyak hadist-hadist shahih lainnya (yang mereka tolak) yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil (terpercaya). Bahkan, mereka mencela para periwayat hadist-hadist tersebut, dari kalangan sahabat maupun tabi’in sekalipun; dan juga mencela orang-orang yang telah disepakati keadilan dan keimanan mereka oleh para muhadditsin (ahli hadist). Semua itu mereka lakukan untuk membantah siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka. Mereka menolak fatwa-fatwa dari orang-orang yang menyelisihi mereka dan menjelek-jelekannya dihadapan khalayak manusia, untuk menjauhi umat Islam dari Sunnah dan orang-orang yang mengikutinya.
[3]. Mereka Menerka-Nerka Maksud Perkataan Yang Ada Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Yang Berbahasa Arab.
Mereka menerka-nerka maksud perkataan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, padahal mereka tidak memiliki ilmu bahasa Arab yang cukup untuk memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu. Akhirnya mereka membuat kebatilan terhadap syari’at dengan pemahaman dan cara mereka, menyelisihi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka lakukan hal itu tidak lain karena berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri dan berkeyakinan bahwa mereka termasuk golongan ahli ijtihad yang berhak menetapkan hukum, padahal realitanya mereka bukan termasuk golongan tersebut.
[4]. Mereka Menyeleweng Dari Prinsip-Prinsip Agama Yang Telah Jelas Dan Mengikuti Perkara-Perkara Yang Samar (Mutasyabihat) Yang Mungkin Diperselisihkan Oleh Akal Masing-Masing Orang
Para ulama telah menetapkan bahwa setiap dalil yang didalamnya mengandung kesamaran dan kesulitan, pada hakekatnya bukanlah dalil, sampai menjadi jelas maknanya dan terang apa yang dimaksud. Karena hakekat sebuah dalil adalah keadaan dzanya sendiri harus jelas dan bisa (secara jelas pula) menunjukkan kepada sesuatu yang lain. Jika tidak demikian berarti masih membutuhkan dalil lagi. Lalu jika dalil tersebut menunjukkan akan ketidak shahihannya (sebagai Sebuah Dalil) berarti tidak layak untuk dikatakan sebagai dalil.
Sumber kekeliruan mereka dalam hal ini tidak lain adalah kebodohan mereka tentang maksud-maksud syari’at dan tidak mau memadukan dalil-dalil syar’I satu dengan lainnya. Kerena menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, dalam mengambil dalil-dalil syar’i haruslah secara utuh dan memenuhi kaidah-kaidah syar’i, misalnya.
[a]. Suatu unsur merupakan juz’iyyat (bagian) dari suatu kulliyat (kumpulan besar);
[b]. Sesuatu yang ‘am (umum) biasanya diikuti dengan sesuatu yang khas (khusus);
[c]. Sesuatu yang muthlaq (mutlak) biasanya diikuti dengan muqayyid (yang membatasi);
[d]. Sesuatu yang mujmal (global) biasanya diikuti dengan bayan (penjelas);
[e]. Dan lain-lain yang serupa dengan itu.
[5]. Menyimpangkan Dalil-Dalil Dari Arti Yang Sebenarnya
Bila ada dalil yang membahas perkara tertentu, (mereka) palingkan dari perkara tersebut kepada perkara lain dengan anggapan bahwa dua perkara itu sama. Inilah di antara bentuk penyimpangan tersembunyi yang mereka lakukan terhadap dalil-dalil dari makna yang sebenarnya. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan demikian.
Besar kemungkinan, orang yang mengakui Islam dan mengetahui tercelanya tindakan menyimpangkan kata-kata dari makna sebenarnya itu, tidak akan melakukan penyimpangan semacam itu. Akan tetapi mereka mungkin melakukan hal itu tatkala ada kesamaran yang melintas pada dirinya, atau karena kebodohan yang menghalangi dirinya untuk mengetahui kebenaran, bahkan adakalanya disertai hawa nafsu yang membutakan hatinya untuk mengambil dalil dari sumbernya. Nah, bila sebab-sebab tersebut terkumpul jadilah dia seorang pelaku bid’ah.
Penjelasannya sebagai berikut. Dalil syar’i yang mengandung suatu perintah global dalam urusan peribadatan, seperti: berdzikir, berdo’a, amalan-amalan sunnah yang dianjurkan, dan amalan-amalan lainnya yang pelaksanaannya tidak diatur tatacara pelaksanaannya oleh Allah Ta’ala, maka harus dilakukan oleh seorang mukallaf secara global juga. Jadi dalil tersebut harus dia pahami dari dua sisi: (yaitu) sisi maknanya dan bagaimana para Salafus salih mengamalkan dalil tersebut. Jiak seorang mukallaf mengerjakan perintah tersebut dengan tata cara tertentu, atau di waktu tertentu, dan dia konsisten melakukan itu sehingga dia menganggap bahwa tata cara, atau waktu, atau tempat tersebut adalah yang dimaksudkan oleh syari’at dengan tanpa dalil yang menunjukkan kepada hal itu, maka dalil yang global tersebut telah dia lepas dari makna seharusnya.
Untuk memperjelas kita berikan gambaran demikian. Kita tahu, bahwa syari’at menganjurkan kita berdzikir kepada Allah Ta’ala. Lalu ada suatu kaum yang (senantiasa melakukannya) dengan cara berjama’ah secara serempak dengan satu suara, atau pada waktu tertentu, dengan dikomandoi oleg seorang seperti yang biasa terjadi di masjid-masjid, padahal kita tahu syari’at tidak menganjurkan yang seperti itu, bahkan justeru sebaliknya. Maka, perbuatan seperti itu jelas menyelisihi kaidah. Karena, pertama, dia telah meyelisihi kemutlakan suatu dalil dengan memberi batasan-batasan tertentu sekehendak akalnya; dan kedua, dia menyelisihi orang-orang yang lebih paham tentang syari’at daripada dirinya, yaitu para Salafus shalih. Padahal Rasulullah sendiri pernah meninggalkan suatu amalan –padahal beliau senang melakukannya- karena khawatir hal itu akan diikuti oleh manusia yang kemudian diwajibkan kepada mereka. Bukankah kita mengetahui, bahwa yang senantiasa Rasulullah lakukan secara jama’ah, bila bukan shalat fardhu berarti shalat sunnah muakkad, menurut para ulama, seperti dua shalat Id, yaitu Idul Fitri dan Idul adh-ha, shalat Istisqa’ (minta hujan), shalat kusuf (gerhana matahari), atau semisalnya? Beliau tidak melakukannya secara berjama’ah untuk shalat malam dan perbuatan-perbuatan sunnah lainnya, karena shalat-shalat tersebut hanya mustahab (yang dianjurkan) saja hukumnya. Rasulullah sendiri menganjurkan kita melaksanakan shalat-shalat tersebut secara sendiri-sendiri. Hal itu tidak lain karena bisa menyusahkan bila shalat-shalat tersebut pelaksanaannya ditunjukkan dan dinampakkan (dengan berjama’ah).
Contoh kasus lain dalam hal ini adalah membiasakan berdo’a setelah sholat dengan cara bersama-sama dan mengeraskannya. Masalah ini akan dibahas secara khusus di bagian belakang Insya Allah Ta’ala.
[6]. Ada Diantara Mereka Yang Menetapkan Perkara-Perkara Syar’i Berdasarkan Takwil Yang Tidak Bisa Diterima Akal.
Mereka mendakwakan (hasil penetapannya itu) bahwa itulah yang dimaksud dan yang diinginkan oleh syari’at. Sementara mereka tidak (memahami dalil-dalil syar’I) seperti yang dipahami oleh orang Arab. Mereka berkata: “Setiap apa yang terdapat dalam syari’at, baik menyangkut hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia, masalah dikumpulkannya manusia dan membeberkannya amalan-amalan mereka (pada hari kiamat), serta perkara-perkara yang terkait dengan penyembahan (kepada Allah), maka itu adalah contoh-contoh urusan yang ghaib.”
[7]. Berlebihan Dalam Mengangungkan Guru-Guru Mereka
Mereka mendudukkan guru-guru mereka itu pada tempat yang tidak selayaknya. Kalau tidak karena berlebih-lebihan dalam beragama, berlebihan membela madzhab, dan berlebihan dalam mencintai pelaku bid’ah, tentu tidak akan ada pada pikiran seseorang untuk mengagungkan guru seperti itu. Akan tetapi Rasulullah telah bersabda.
"Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti jalannya orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta" [HR.Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669 dan yang lainnya dari hadist Abu Sa’id Al-Khudri]
Jadi, mereka itu berlebih-lebihan (terhadap guru-guru mereka) seperti halnya orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa bin Maryam, yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Ibnu Maryam". Maka, Allah berfirman:
"Artinya : Katakanlah (Wahai Muhammad), ”Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sejak dahulu telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad) ; dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus" [Al-Ma’idah : 77]
Rasulullah Bersabda:
“Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan (memuji)ku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan (memuji) ‘Isa Putera Maryam, tetapi katakanlah : (Aku ini) Hamba Allah dan Rasul-Nya". [HR. Bukhari no. 6830 dari Umar bin Al-Khathab]
Barangsiapa memperhatikan orang-orang (yang melakukan tindakan seperti di atas) niscaya akan menemukan banyak perbuatan bid’ah yang mereka lakukan dalam cabang-cabang syari’at. Karena, memang, yang namanya Bid’ah bila telah masuk ke dalam perkara pokok (ushul), maka akan mudah masuk kedalam cabang-cabangnya (furu’).
[8]. Berhujjah Dengan Mimpi-Mimpi
Hujjah yang paling lemah adalah hujjah suatu kaum yang menyandarkan kepada mimpi-mimpi untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan. Mereka biasanya berkata, “Kami bermimpi bertemu dengan si fulan, -biasanya seseorang yang shalih-, lalu dia berkata kepada kami, ‘Tinggalkan amalan itu, dan lakukan amalan ini!” Sebagian yang lain berkata, “Aku bermimpi (berjumpa) Rasulullah di waktu tidur, lalu beliau berkata begini dan memerintahkan begitu,”kemudian mengamalkan atau meninggalkan suatu amalan berdasarkan mimpinya itu, berpaling dari batasan-batasan yang telah dibuat oleh syari’at.”
Jelas itu suatu kesalahan. Karena, menurut syari’at, selain mimpi para nabi sama sekali tidak bisa diambil sebagai hukum. Mimpi-mimpi tersebut harus dikembalikan kepada hukum-hukum syari’at yang ada. Kalau cocok dengan hukum syari’at, maka mimpi tersebut boleh diamalkan, namun bila tidak cocok, maka wajib ditinggalkan dan dijauhi. Mimpi bisa kita jadikan sebagai kabar gembira atau peringatan saja ; tidak bisa dijadikan ketetapan hukum. Dan tidak bisa kita berkata, “Mimpi adalah satu bagian dari kenabian yang tidak boleh diabaikan. Bisa jadi yang mengabarkan dalam mimpi itu adalah Rasulullah, karena beliau bersabda:
"Artinya : Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar-benar telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6993, Muslim no. 2266 dari Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari no. 6994 dari Anas no. 6997 dan dari Abu Said Al-Khudri ; serta Muslim no. 2268 dari Jabir]
Jadi pengabaran beliau pada saat tidur (mimpi) sama seperti pengabaran beliau pada saat terjaga.
(Tidak bisa kita berkata seperti perkataan di atas), karena:
[1]. Jika mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian, maka mimpi tersebut bukan merupakan wahyu secara keseluruhan, melainkan hanya sebagiannya saja. Sedangkan satu bagian itu tidak bisa menduduki tempat secara keseluruhan dalam segala sisi, melainkan hanya mendudukinya pada beberapa sisi saja. Mimpi bisa dipakai sebagai bentuk kabar gembira (bisyarah) dan peringatan (nidzarah) saja, tidak menjangkau aspek hukum.
[2]. Mimpi merupakan bagian dari kenabian di antara syaratnya adalah harus merupakan mimpi yang benar dari seorang yang shalih. Padahal terpenuhinya syarat-syarat tersebut jelas membutuhkan penelitian, sehingga bisa jadi terpenuhinya dan bisa pula tidak.
[3]. Mimpi sendiri terbagi-bagi. Ada mimpi yang merupakan mimpi biasa yang datangnya dari syetan; ada yang merupakan khayalan; dan ada juga yang merupakan rekaman peristiwa yang terjadi sebelum tidur. Kapan kita bisa menentukan mimpi yang benar sehingga bisa diambil sebagai patokan hukum dan mana mimpi yang tidak benar untuk kita tinggalkan?
Mimpi yang menggambarkan Rasulullah mengabarkan tentang suatu hukum pun perlu dilihat. Bila (di dalam mimpi orang tersebut) beliau mengabarkan tentang suatu hukum yang sesuai dengan syari’at, maka (pada hakekatnya) hukum yang dipegang adalah hukum yang telah ada (dalam syari’at) tersebut. Dan jika beliau mengabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi (syari’at), maka itu mustahil. Karena setelah Rasulullah wafat, syari’at yang telah ditetapkan semasa hidupnya tidak akan manshukh (diganti dengan yang lainnya). Sebab agama Islam ini, meskipun Rasulullah telah wafat, ketetapan hukumnya tidak akan berubah dengan sebab mimpi seseorang. Karena hal itu suatu kebatilan menurut ijma’. Jadi barang siapa yang bermimpi (mendapati Rasulullah mengabarkan suatu hukum yang bertentangan dengan syari’at yang telah ada) itu, maka tidak boleh diamalkan. Dan pada saat tersebut kita katakana: Mimpi orang tersebut tidak benar. Karena kalau dia benar-benar (bermimpi) melihat Rasulullah, tentu beliau tidak akan mengabarkan sesuatu yang menyelisihi syari’at.
Sekarang, mari kita bicarakan makna sabda Rasulullah
“Artinya : Barangsiapa yang melihatku di waktu tidur, berarti ia telah melihatku.”
Dalam hal ini ada dua penafsiran, yaitu.
Pertama.
Makna hadist tersebut (adalah):
"Barangsiapa(bermimpi) melihatku sesuai bentuk di mana aku diciptakan maka ia telah melihatku; karena syetan tidak bisa menyerupaiku.”
Karena beliau tidak mengatakan, “Barang siapa yang berpendapat bahwa dia melihatku (dalam mimpi), maka dia telah melihatku”, tetapi mengatakan, “Barangsiapa melihatku (dalam mimpi) maka dia telah melihatku”. Darimana orang yang berpendapat bahwa dirinya melihat Rasulullah itu memastikan kalau yang dia lihat dalam mimpinya itu betul-betul wujud beliau? Jika dia tetap (bersikeras) telah melihat beliau, padahal dia tidak bisa memastikan kalau yang dilihatnya itu adalah betul-betul wujud beliau, maka ini adalah sesuatu yang sulit untuk dipercaya.
Kesimpulannya: Apa yang dilihat dalam mimpi seseorang bisa saja bukan Rasulullah, meskipun orang yang bermimpi meyakini bahwa itu adalah beliau.
Kedua.
Para ahli ta’bir mimpi berkata, “sesungguhnya syetan bisa mendatangi seseorang yang sedang tidur dalam bentuk tertentu, seperti dalam bentuk orang yang dikenal oleh yang bermimpi tersebut atau yang lainnya. Lalu (syetan) menunjukkannya kepada orang lain (sambil berkata): ‘Fulan ini adalah Nabi!’ Cara seperti itulah yang ditempuh syetan dalam menjalankan tipu dayanya terhadap orang yang bermimpi. Padahal, sosok Nabi mempunyai tanda-tanda tertentu. Kemudian, sosok yang ditunjukkan oleh syetan tersebut menyampaikan perintah atau larangan yang tidak sesuai dengan syari’at kepada orang (yang bermimpi). Orang yang bermimpi itu mengira kalau itu dari Rasulullah, padahal bukan, sehingga ucapan, perintah, atau larangan yang disampaikan dalam mimpi itu tidak boleh kita percaya.”
Jadi, jelaslah sudah permasalahan ini. Yaitu, bahwa suatu hukum tidak bisa diambil dari mimpi-mimpi sebelum dicocokkan terlebih dahulu dengan dalil, karena gambaran yang ada dalam mimpi kemungkinan tercampur dengan kebatilan.
Hanya orang-orang yang lemah hatinya sajalah yang berdalil dengan mimpi dalam masalah hukum-hukum (syar’i). Memang, bisa saja orang yang dilihat (dalam mimpi) itu datang dengan membawa pemberitahuan, kabar gembira, maupun peringatan secara khusus, akan tetapi para ahli ta’bir mimpi itu tidak menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan hukum dan membangun suatu kaidah. Memang sikap yang benar dalam menyikapi apa yang terlihat dalam mimpi adalah dengan selalu berpatokan dengan syari’at yang ada, wallahu a’lam.
Barangsiapa yang memperhatikan cara ahli bid’ah dalam berdalil, niscaya dia akan mengetahui bahwa mereka itu tidak memiliki alasan yang mapan. Karena alasan-alasan mereka itu terus saja mengalir berubah-ubah, tidak akan pernah berhenti pada satu alas an tertentu. Dan berdasarkan alasan-alasan itulah, orang-orang yang menyimpang dan orang-orang kafir mendasarkan penyimpanmgan dan kekufurannya, serta menisbatkan ajarannya itu kepada syari’at.
Barangsiapa yang tidak ingin terperosok ke dalam tindakan semacam itu, hendaknya mencari kejelasan jalan mana yang lurus baginya. Karena siapa yang berani meremehkan (hal ini), niscaya tangan-tangan hawa nafsu akan melemparkan kedalam berbagai kebinasaan yang tiada seorang pun dapat membebaskannya, kecuali bila Allah menghendaki lain.
[Disalin dari “Kutaib Muhtashar Al-I’tisham, Peringkas Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Penulis Abu Ishaq Ibrahim bin Musa ASy-Syathibi, Edisi Indonesia Ringkasan Al-I'tishom Imam Asy-Syathibi, Penerjemah Arif Syarifuddin, Penerbit Media Hidayah]
sumber: http://almanhaj.or.id/
No comments:
Post a Comment